NGANGGUNG TRADISI BANGKA BELITUNG
Setiap masyarakat tentunya memiliki agama sebagai
kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan
hidup. Di samping agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan.
Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut
memelihara dan melestarikan budaya yang ada.Kebudayaan sebagai hasil dari
cipta, karsa dan rasa manusia
menurut Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang
kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.(
1 Bustanudin Agus, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 15)
Dalam masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana,
ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga menjadi
suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam
kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga
masyarakatnya. (2 Atang Abdullah
Hakim Dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006),
cet.
kedelapan, hal. 28)Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan
menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan
kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan
kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap
keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki
balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai dengan naluri manusia
yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan
perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan
pendahulu mereka(3 Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), cet. kedelapan,
hal. 190. )
Menurut Hardjono dalam I Nyoman Beratha memberikan ulasan
singkat bahwa tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran-ajaran yang
diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan tersebut memuat tentang
prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran yang
relatif. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran dalam alam yang lebih
rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal. (4 Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan,
Peradilan & Adat dalam Islam, penerjemah: H. Asmuni, (Jakarta: Khalifa,
2004), cet. petama, hal. 512. )
Sedangkan menurut Harapandi Dahri, tradisi didefinisikan
sebagai berikut:
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara
terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah
komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian
disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara
bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah
ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatangakan bahaya.
(5
I Nyoman Beratha, Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), hal.
22.
)Tradisi-tradisi tersebut dapat disaksikan pada; ’Upacara Tawar
Laut/Ketupat Laut’, ’Tahun Baru Cina’, ’Sembahyang Kubur Cina’, ’Sembahyang
Pantai’, ’Kawin Massal’,Perang Ketupat’, ’Mandi Belimau’, ’Sedekah
Kampung’,’Rebo Kasan’, ’Nganggung’ dan lainnya yang dilakukan di Kepulauan
Bangka Belitung. Tradisi ini dilakukan sebagai pengungkapan atas rasa syukur
terhadap anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan
nuansa keagamaan. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan
upacara adat pada suatu masyarakat.
Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini merupakan
sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap
suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya
dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya.Ritual keagamaan yang
dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan
berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi
dengan budaya lokal. Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka
Nganggung adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa
dijumpai di Bangka. Karena itu tradisi nganggung dapat dikatakan salah satu identitas
Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong
royongan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing.Nganggung atau Sepintu
Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang
mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan
gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke
masjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati
hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang
meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung
adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung saji ke
masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual
agama. Makanan
tersebut dibawa dengan cara di "anggung" (dipapah di bahu)
menggunakan dulang yang ditutup dengan tudung saji pandan atau daun nipah khas
Bangka yang warnanya semarak dengan motif yang khas pula. Itu sebabnya
Kepulauan Bangka Belitung disebut juga "Negeri Sepintu Sedulang".
Meski demikian, ada juga beberapa daerah yang membawa makanan tersebut dengan
rantang. Meski begitu, tetap saja dinamakan nganggung karena intinya pada saat
acara makan-makan bersamanya.
Selain untuk menyambut dan merayakan hari-hari besar keagamaan,
nganggung juga dilakukan untuk menyambut tamu kehormatan, seperti gubernur,
bupati atau tamu kehormatan lainnya. Untuk menghormati tamu istimewa yang
datang tersebut. Biasanya masyarakat menyambut dan menjamu tamu secara
bergotong royong yaitu dengan tradisi nganggung ini. Nganggung juga sering
dilakukan sebagai ungkapan turut berduka cita atas meninggalnya salah satu
warga. Pada 7 hari setelah masa berkabung biasanya masyarakat juga melaksanakan
ritual tahlilan yang diikuti dengan tradisi nganggung untuk menjaga solidaritas
dan turut membantu yang terkena musibah. Dengan tradisi ini kita dapat
menunjukkan rasa kepedulian, kebersamaan, gotong royong dan selalu menjaga
serta menjalin tali kekeluargaan dan hubungan silaturrahim antara sesama. Dari
ritual ini, tercermin betapa masyarakat Bangka menjujung tinggi rasa persatuan
dan kesatuan serta gotong royong, bukan hanya dilaksanakan penduduk setempat
melainkan juga dengan para pendatang.Jiwa gotong royong masyarakat Bangka cukup
tinggi. Warga masyarakat akan mengulurkan tangannya membantu jika ada anggota
warganya memerlukanya. Semua ini berjalan dengan dilandasi jiwa Sepintu
Sedulang. Jiwa ini dapat disaksikan, misalnya pada saat panen lada, acara-acara
adat, peringatan hari-hari besar keagamaan, perkawianan dan kematian. Acara ini
lebih dikenal dengan sebutan “Nganggung”, yaitu kegiatan setiap rumah
mengantarkan makanan dengan menggunakan dulang, yakni baki bulat besar. Waktu pelaksanaan nganggung
biasanya bervariasi , tidak mutlak harus sama antara satu desa dengan desa yang
lain , tergantung kesepakatan bersama antara penduduk desa masing-masing. Ada
desa yang menyelenggarakan nganggung selepas maghrib , ada yang
menyelenggarakannya jam 07.00 .Ada pula yang menyelenggarakan kegiatan ini jam
10.00 pagi , setelah paginya masyarakat bergotong royong membersihkan mesjid
.Dan ada pula desa yang melakukan kegiatan nganggung ini pada jam 16.00 ,
setelah sholat ashar .
Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan
ditentukan oleh
tiga fungsi berikut:
Cipta (Reason)
merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Melalui cipta
manusia dapat manilai dan membandingkan dan selanjutnya memutuskan suatu
tindakan terhadap stimulan tertentu. Cipta berperan untuk menentukan benar atau
tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
Rasa(Emo tio n )
adalah suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan
dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Rasa menimbulkan
sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
Karsa(Will )
merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Karsa
berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin sebagai ajaran agama
berdasarkan fungsi kejiwaan yang menimbulkan amalan-amalan atau praktik
keagamaan yang benar dan logis.
Dalam acara nganggung ini, setiap kepala keluarga membawa
dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium
dan ada juga yang terbuat dari kuningan,timah atau kayu dan. sekarang sudah
agak langka, tapi sebagian masyarakat Bangka masih mempunyai dulang. sekarang
ada pula yang terbuat dari pelastik Didalam dulang ini tertata aneka jenis
makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Kalau nganggung kue, yang dibawa kue, nganggung nasi, isi
dulang nasi dan lauk pauk, nganggung ketupat biasanya pada saat lebaran. Dulang
ini ditutup dengan tudung saji yang terbuat dari daun, sejenis pandan, dan di
cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran. Dulang ini dibawa ke masjid,
atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati
bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan
rasa bangga.
Laki-laki Perwakilan dari setiap rumah berbondong-bondong membawa
dulang mereka ketempat yang sudah disepakati dengan sebelah tangan setinggi
bahu atau sengaja menjadikan bahu sebagai penopang Dulang.Setelah tiba ditempat
panitia akan menerima dulang dan meletakkannya dengan rapi biasanya akan
bertukaran dulang dengan maksud saling menikmati makanan tapi bukan makanan
yang kita bawa sendiri dari rumah.Masyarakat yang mengikuti nganggung duduk
berbaris saling berhadapan.dan tiantara mereka terdapat dulang yang berisi
makanan.Selain masyarakat kampung tak jarang pula orang dari kampung/Desa lain
ikut dalam acara ini atau para tau yang sengaja diundang untuk menghadiri acara
nganggung. Sedangkan masyarakat yang tidak ingin mengikuti acara nganggung di
masjid atau balai desa juga dapat menikmati hidangan dirumah warga.khususnya
pada acara nganggung tertentu seperti peringatan hari besar agama,pesta
panen,atau sedekah kampung.
Namun dalam perkembangannya sekarang, kegiatan nganggung
yang masih eksis dipertahankan hanya pada saat memperingati hari besar agama
Islam, dan menyambut tamu kehormatan saja. Dengan semakin majunya zaman tradisi
membawa dulang yang berwarna-warni diatas bahu dengan berjalan kaki menuju
tempat nganggung berganti dengan kendaraan bermotor.begitupun dengan dulang
sebagai tempat makanan nganggung berganti pula dengan rantang seng atau plastik
hal ini mungkin dikarenakan masyarakat bangka belitung tidak memiliki dulang
dan tudung saji sebagai pemanis suasana nganggung atau sulitnya mencari dulang
serta tudung saji yang tempat tumbuh bahan bakunya semakin berkurang tergerus
dengan lahan tambang timah yang semakin meraja lela.
Kemudian Yang menjadi tanda tanya adalah seberapa besar
potensi pariwisata pada ritual adat istiadat tersebut. Tentu saja semua
perhelatan budaya mempunyai nilai wisata yang sangat besar apabila
dioptimalkan. Tidak ada budaya yang tidak mempunyai nilai wisata. Dalam hal ini
tentu saja ritual adat sepintu sedulang tersebut bisa dijual atau dikomersilkan
sebagai potensi wisata pulau Bangka. Hal tersebut tentu saja apabila ritual
tersebut dikemas dengan sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan layak untuk
menarik minat wisatawan untuk berperan andil dalam ritual tersebut.
Sumber :
-Tokoh masyarakat dalam dialog yang
dilakukan penulis secara langsung pada Stasiun Radio di sungailiat dan Pangkal pinang pada acara
Budaya daerah.
- Tradisi sedekah kampung peradong.
(Suryan Masrin 2010)
- Kapita selekta Budaya Bangka Buku I th 1995
SEDEKAH KAMPUNG
Sebelum menjelaskan pengertian Sedekah Kampung, terlebih
dahulu diuraikan makna sedekah pada umumnya dan pemaknaan terhadap kampung itu
sendiri. Sedekah atau kenduri adalah konsep yang paling umum dipakai baik untuk
perayaan tanda syukur maupun peringatan tanda duka cita. Sedekah sebagai tanda
syukur dilaksanakan untuk merayakan kelahiran, khitanan, perkawinan, pindah
rumah, habis panen, terhindar dari bahaya, dan sebagainya. Sedekah dilakukan
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rizki dan
kasih sayang kepada yang mnyelenggarakan sedekah dan permohonan agar senantiasa
diberi keselamatan dan perlindungan kepada yang melaksanakan sedekah dan semua
anggota masyarakat pada umumnya.Kampung atau yang sering disebut dengan desa,
merupakan kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu,
terletak di bawah kecamatan; berkaitan dengan kebiasaan di kampung. Sedangkan
menurut Bouman yang dikutip oleh Beratha, mendefinisikan desa dari segi
pergaulan hidup:
Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama
sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang
termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya,
usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam
tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan
pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial.
Sedekah Kampung adalah upacara adat yang dilakukan untuk
mengungkapkan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan oleh Sang
Pencipta, sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dengan
berbagai ritual yang terkandung dalam tradisi atau kebiasaan masyarakat kampung
yang telah mengakar. Juga dimaknai sebagai kebiasaan atau tradisi yang turun
temurun dilakukan, hingga menjadi bagian dari budaya dengan menyediakan makanan
di suatu tempat yang telah ditentukan dan di rumah masing-masing masyarakat
setempat, dengan dilakukan berbagai aktivitas atau kebiasaan kedaerahan sesuai
dengan daerah masing-masing yang bisa disebut dengan adat.
Sedekah kampung sebagai tradisi atau kebiasaan dari sebuah
budaya merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia. Manusia sebagai khalifatu
fii al-Ard (pewaris nenek moyang) merupakan suatu ikatan yang tidak lepas dari
kebudayaan. Kebudayaan sebagaimana telah dikemukakan oleh Geertz dapat dilihat
pada peristiwa-peristiwa publik seperti ritual, festival atau perayaan tertentu
karena pada peristiwa-peristiwa tersebut orang mengekspresikan tema-tema
kehidupan sosial melalui tindakan simbolik. Tindakan tersebut mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.Di dalam kehidupan, budaya ternyata mengalami proses
seperti proses biologi, artinya budaya juga mengalami masa-masa lahir,
berkembang, surut, dan bahkan hilang sama sekali. Pasang surutnya budaya
tersebut tergantung padasta b ilita s sosial kehidupan manusia, karena budaya
menyatu dan melekat dalam kehidupannya. Dengan kata lain, budaya merupakan
identitas bagi manusia, kalau budaya suram tentunya identitas tersebut akan
kabur dan jika ia tereleminasi sama dengan tidak berbudaya lagi.
Budaya sebagai warisan bangsa yang dapat dirasakan sampai
sekarang (cultural
heritage) mempunyai beberapa kandungan nilai yang sangat
berharga bagi kelangsungan
suatu bangsa atau etnis tertentu. Sedekah Kampung sebagai
budaya lokal yang merupakan warisan generasi sebelumnya memiliki nilai-nilai
budaya yang mampu melindungi aspek kehidupan lainnya, seperti kehidupan
politik, sosial, ekonomi, dan religius. Di antara kandungan-kandungan yang
sudah disepakati dalam budaya daerah antara lain adanya:
1. Identifikasi daerah (local identification). Sudah disebut
di atas bahwa budaya menjadi identifikasi suatu bangsa atau etnik;
2. Kearifan daerah (local wisdom). Sikap arif dapat
dipastikan dimiliki oleh setiap daerah karena walaupun berbeda daerah tetap ada
hal-hal yang bersifat umum;
3. Pencerdas daerah (local genius). Hampir setiap masyarakat
ada minoritas yang memiliki kemampuan berpikir yang luas. Merekalah sebenarnya
obor masyarakat yang akan membawa kemana masyarakat pergi. pemikiran mereka itu
akan dijadikan oleh pelaksana pemerintahan yang kemudian diikuti oleh
masyarakatnya;
4. Budaya kreatif (creative culture). Sebagai kelanjutan
dari minoritas kreatif tentunya mereka yang sudah ada dalam ranah budaya
kreatif akan menghasilkan kreasi-kreasi baru. Kreasi inilah yang menyambung
kehidupan budaya yang telah ada;
5. Kemandirian budaya (cultural independence). Keberadaan
suatu budaya sejak awalnya adalah kreasi elit yang merupakan minoritas kreatif
yang dalam kelangsungannya didukung oleh kekuasaan politik dan ekonomi.
Kait-mengait antarfaktor itu tidak dapat dilepaskan. Namun, faktor-faktor itu
hidup dalam suatu daerah yang sudah merupakan kebulatan. Oleh karena itu, kebulatan
budaya harus dijaga supaya kelestariannya berjalan menggenerasi;
6. Iklim sosio-kultural (socio-cultural sphere). Lajunya
modernisasi di semua bidang kehidupan diperlukan iklim sosial budaya yang
mendukung agar masyarakat sebagai pemilik warisan budaya itu secara sadar
melakukan pelestarian budaya.
Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun
temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Sebelum
pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat
(dukun) mengadakan ceriak (bermusyawarah dengan melakukan
pemanggilan orang-orang kampung oleh dukun yang tujuannya untuk menentukan
waktu pelaksanaan Sedekah Kampung.) pemanggilan
orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya upacara adat dan
menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara tersebut. Pada tanggal
yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk
setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan bahan-bahan
tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari buluh (bambu). Menurut sang
dukun dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat
orang-orang cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam.Setelah
persiapan, seperti; batu persucian (taber) dan gaharu selesai, kemudian pada
hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan
makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti;
ayam dan bebek untuk diperebutkan setelah ritual upacara permohonan izin
dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan,bersama penduduk arak-arakan
menuju Istana(sebutan masyarakat
terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual
upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung (makam leluhur yang
merupakan kakek buyut tetua adat )dengan diiringi semarang
(selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan sedekah
kampung. Setelah sampai di sana, sang dukun kemudian duduk di atas makam
bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta
hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan do’a dan
mantera. Setelah pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik ke atas
makam dan memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada di atas
makam tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penampilan silat yang
dilakukan oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya
melakukan pemberianta n g kel (jimat) di empat penjuru, dimulai dari istana
tersebut menuju gerbang pintu masuk ke desa sampai akhir perbatasan desa
tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk
gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.
Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan
yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual
ini, yaitu duduk di atas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun di
atas pagar dan bermain senter. Menurut penduduk, apabila pantangan tersebut
dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk- makhluk halus dan mengubahnya
menjadi tepuler (kepala dengan wajah terbalik ke belakang). Untuk tetua adat
selama acara berlangsung, tidak boleh makan dan minum (berpuasa).
Setelah selesai dilaksanakan sedekah kampung
diikuti dengan nganggung kegiatan seperti ini masih dilaksanakan didesa
peradong tempilang air anyir,limbung jada bahrin dan beberapa desa lain di
Bangka Belitung.
Sumber :
-Tokoh masyarakat dalam dialog yang
dilakukan penulis secara langsung pada Stasiun Radio di sungailiat dan Pangkal pinang pada acara
Budaya daerah.
- Tradisi sedekah kampung peradong.
(Suryan Masrin 2010)
- Kapita selekta Budaya Bangka Buku I th 1995