PENGGUNAAN BAHASA DALAM PANTUN MELAYU BANGKA: SEBUAH KAJIAN
STILISTIK1
Abstrak
Pantun Melayu Bangka merupakan salah satu produk budaya yang tetap hidup di
Pulau Bangka. Karena mediumnya bahasa, pantun dapat dikaji melalui garapan
stilistik. Melalui kajian stilistik terhadap pantun Melayu Bangka dapat
diketahui penggunaan bahasa dalam pantun, perlakuan pemantun terhadap konvensi
pantun, dan sekaligus makna yang terdapat di dalam pantun itu sendiri. Pantun
Melayu Bangka yang dikaji memiliki keberagaman pola kalimat pantun. Jika
dilihat dari konvensi penulisan pantun terdapat upaya untuk melanggar konvensi
tersebut. Pantun Melayu Bangka merupakan refleksi dari keadaan masyarakat
Melayu Bangka.
Kata-kata kunci: pantun, Melayu Bangka, kajian
stilistik
PENDAHULUAN
Pantun Melayu Bangka merupakan salah satu produk budaya yang tetap hidup di
Pulau Bangka (salah satu pulau di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Bahkan
Halim (2007) mengatakan bahwa orang Melayu Bangka merupakan pujangga. Hal itu
disebabkan masyarakat Melayu Bangka sering menggunakan pantun dalam aktivitas
sehari-harinya. Menurut pengamatan Halim, pantun dalam kehidupan masyarakat
Melayu Bangka bukan hanya digunakan pada kegiatan formal melainkan juga
digunakan dalam kegiatan nonformal. Masyarakat Melayu Bangka berpantun baik
dalam keadaan gembira, duka maupun marah.
Secara teoretis, pantun terdiri atas empat baris dengan ketentuan sebagai
berikut. Pantun terdiri atas dua baris sampiran (tumpuan bicara). Sampiran
menjadi petunjuk rima pantun. Selain dua baris sampiran tersebut pantun terdiri
atas dua baris isi. Isi pantun merupakan inti atau maksud pantun dengan rima
(persajakan) bersilang abab. Dengan kata lain, rima pantun merujuk kepada dua
baris sampiran di atasnya (Herfanda, 2008). Di samping itu, pantun memiliki
ciri yaitu jumlah suku kata dalam tiap baris antara delapan sampai dua belas
suku kata. Dengan demikian, pantun merupakan karya sastra yang terikat oleh
aspek sampiran, isi, rima, dan jumlah suku kata per baris.
Pantun sebagai salah satu karya sastra bermediumkan bahasa. Karena
mediumnya adalah bahasa, pantun dapat dikaji atau diamati melalui bahasa yang
digunakan di dalam pantun. Kajian yang dipergunakan untuk melihat bahasa teks
(pantun) adalah kajian stilistik. Menurut Djatmika (2004:107) “Stilistika
adalah ilmu yang mempelajari tentang style sebuah teks.” Lebih jauh ia
menyatakan keunggulan dalam menerapkan kajian stilistik terhadap teks yakni
dapat memberikan analisis yang sistematis terhadap teks yang dikaji. Kajian
stilistik juga dapat dikerjakan dengan melibatkan unsur konteks dari teks itu.
Jika mengambil pernyataan Becker (Nurhayati, 2008:5)
stilistika adalah suatu tempat pertemuan antara mikroanalisis dan
makroanalisis.
Sudjiman (1993:v-vi) mengungkapkan bahwa titik
berat pengkajian stilistik terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa
suatu karya sastra, tetapi tujuannya adalah meneliti efek estetika bahasa.
Dengan demikian, stilistika dapat menjadi instrumen untuk lebih memahami suatu
karya sastra. Pemahaman yang lebih baik ini pada gilirannya memungkinkan
pembaca memberi apresiasi dan penilaian secara benar. Di samping itu, Sudjiman
menyatakan pula bahwa pengkajian stilistik juga menyadarkan pembaca akan kiat
penulis dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai
sarana pengungkap makna. Hal ini diungkapkan pula oleh Leech dan Short
(1984:74) ... every analysis of style ... is an attempt to find
the artistic principles underlying a writer's choice of language. All writers
... have their individual qualities.
Dari
pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengkajian dari
aspek bahasa yang terdapat di dalam pantun dapat membantu dalam menafsirkan
makna pantun itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pertemuan antara aspek
mikro dan makro dalam analisis stilistik. Seperti dikemukakan Spitzer (dalam Leech dan Short, 1984:13) pada dasarnya kajian stilistik bertujuan memberikan
dua kecakapan yaitu kemampuan untuk mengobservasi bahasa karya sastra dan
kemampuan meresponsnya. Kajian yang dilakukan terhadap pantun Melayu Bangka ini
menggunakan pendekatan stilistik untuk melihat unsur mikro (teks) dan
selanjutnya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan unsur makro (konteks).
METODOLOGI
Alat Kajian
Teori yang digunakan untuk mengkaji bahasa yang terdapat dalam pantun-pantun
Melayu Bangka adalah teori kebahasaan yang termuat dalam Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia. Di samping itu, digunakan pula teori-teori yang
berhubungan dengan kajian stilistik lainnya seperti diksi dan rima. Karena
pantun merupakan karya sastra yang terikat kepada jumlah suku kata per baris,
usaha penggalian unsur-unsur gramatikal baris-baris pantun dibarengi dengan
upaya memparafrasekan baris-baris pantun. Pemparafrasean dilakukan dengan cara
menambahkan unsur-unsur (kata-kata) yang lesap atau hilang. Tambahan pula
karena pantun merupakan karya sastra yang terikat oleh seperangkat konvensi
yang telah dikemukakan terdahulu, kajian ini pun membahas keterkaitan pantun dengan
konvensi pantun.
Berikut dikemukakan tipe-tipe
kalimat dasar inti bahasa Indonesia yang dijadikan alat untuk menganalisis
pantun-pantun Melayu Bangka. Tipe-tipe kalimat dasar inti mencakup enam macam.
Keenam tipe kalimat dasar inti dibedakan berdasarkan pola unsur-unsur yang
wajib berdasarkan fungsi atau kategori. Agar mudah memahaminya keenam tipe
kalimat dasar inti tersebut disajikan dalam bentuk tabel.
|
Contoh
|
||||
Fungsi Tipe
|
Subjek (S)
|
Predikat (P)
|
Objek (O)
|
Pelengkap (Pel)
|
Keterangan (K)
|
a. S-P
|
Orang itu
Saya
|
sedang tidur
mahasiswa
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
b. S-P-O
|
Ayahnya
|
membeli
|
mobil
|
-
|
-
|
c. S-P-Pel
|
Beliau
|
menjadi
|
-
|
ketua koperasi
|
-
-
|
d. S-P-K
|
Kami
Kecelakaan itu
|
tinggal
terjadi
|
-
-
|
-
-
|
di Jakarta
minggu lalu
|
e. S-P-O-Pel
|
Dia
Dian
|
mengirimi
mengambilkan
|
ibunya
adiknya
|
uang
air minum
|
-
-
|
f. S-P-O-K
|
Pak Raden
Beliau
|
memasukkan
memperlakukan
|
uang
kami
|
-
-
|
ke bank
dengan baik
|
Dikutip dari Alwi dkk. (1993:362).
Data dan Sumber Data
Walaupun pantun umumnya dikemukakan secara lisan, pantun yang dianalisis ini
merupakan pantun yang ditulis dalam buku yang berjudul Bangka Belitung
Bercahaya dalam Pantun & Puisi serta Pelangi Budaya Bangka
Tengah dan pantun yang diunduh dari
internet yang berasal dari pujangga Melayu Bangka.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berikut disajikan kajian stilistik terhadap serangkaian pantun Melayu Bangka
disertai interpretasi terhadap pantun-pantun tersebut.
Pantun I
Gadis melayu berambut panjang
Pakai selendang berbaju kurun
Walaupun Pulau Bangka penuh lubang
Di sini tempat lahir pujangga pantun
Pantun I terdiri atas empat baris yang mengikuti prinsip pembuatan pantun yaitu
dua baris pertama berupa sampiran sedangkan dua baris kedua merupakan isi.
Baris pertama pantun di atas terdiri atas dua unsur yakni S+P. Gadis melayu
ialah S sedangkan berambut panjang ialah P. Baris ke-2 terdiri
atas dua klausa tanpa melibatkan S. Klausa pertama yakni pakai selendang
dan klausa kedua yakni berbaju kurun. Bila dikaitkan dengan baris
pertama jelas sekali bahwa yang menjadi S baris kedua ialah gadis melayu.
Dengan demikian, konstruksi baris tersebut ialah P+O+P+Pel. Pakai ialah
P, selendang sebagai O dan berbaju sebagai P dan kurun
sebegai Pel. Jika diparafrasa baris kedua akan berbunyi (gadis melayu itu)
(me) pakai selendang (dan) berbaju kurun. Bila
diperhatikan rima akhir baris ke-2 terlihat adanya penghilangan huruf g
pada kata kurun. Hal itu dilakukan untuk menyelaraskannya dengan
baris ke-4 pantun. Jadi, demi rima akhir yang sama, pemantun melakukan
penghilangan huruf g tersebut. Baris ke-3 pantun walaupun Pulau
Bangka penuh lubang merupakan klausa terikat yang diawali dengan konjungtor
walaupun dengan baris ke-4 pantun yang menjadi klausa bebasnya yakni di
sini tempat lahir pujangga pantun. Dengan demikian, jika kedua baris itu
digabungkan akan berbunyi walaupun Pulau Bangka penuh lubang, di sini tempat
lahir pujangga pantun. Apabila dianalisis unsur-unsur gramatikal pembentuk
kedua baris pantun tersebut akan diperoleh bahwa klausa terikat terdiri atas Pulau
Bangka (S) + penuh lubang (P). Sementara itu, klausa bebas terdiri
atas di sini(lah) tempat lahir(nya) sebagai S dan
pujangga pantun sebagai P.
Baris ke-1 dan 2 pantun I tersebut mengungkapkan bahwa orang Bangka (urang
Bangke/Bangkek) termasuk rumpun Melayu. Menurut Basyarsyah II (2002:17)
seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu
sehari-hari dan beradat istiadat Melayu. Dengan melihat konsep seperti itu,
gadis-gadis Melayu memiliki tradisi berpakaian yang mencerminkan budaya Melayu
yakni memakai baju kurung dan menggunakan selendang. Baju kurung plus selendang
ini terutama digunakan dalam acara keagamaan dan pernikahan.
Baris ke-3 dan 4 berisi informasi bahwa Pulau Bangka dewasa ini dalam
kondisinya penuh dengan lubang. Lubang-lubang itu ialah lubang-lubang bekas
galian timah. Setelah timah digali ditinggalkan begitu saja oleh penggalinya
tanpa ditimbun kembali. Sebagai kontradiksi dari keadaan tersebut, satu hal
(sebagai penghibur diri) di tanah yang sudah rusak itu lahir pujangga-pujangga
pantun. Salah seorang pujangga pantun yang terkenal dari Pulau Bangka bernama
Kario Kurawa.
Berikut dikemukakan parafrase pantun I.
Gadis melayu berambut panjang
(Gadis melayu) (me) Pakai selendang (dan) berbaju
kurun
Walaupun Pulau Bangka penuh lubang
Di sini(lah) tempat lahir(nya) pujangga pantun
Pantun II
Maen di pantai burung
kedidi
Main di pantai burung kedidi
Pata sayap e ketimpak
kayu
Patah sayapnya tertimpa kayu
Punye adat kek
bebudi
Punya adat serta berbudi
Tula jati diri urang
Melayu
Itulah jati diri orang Melayu
Baris ke-1 pantun II memiliki struktur gramatikal P+K+S. Kata maen
merupakan P, frase adverbial di pantai merupakan K dan frase
nominal burung kedidi sebagai S. Baris ke-2 terdiri atas dua klausa
yakni pata sayap e dan ketimpak kayu. Klausa pertama pata
sayap e terdiri atas pata sebagai P dan sayap e sebagai S.
Sementara itu, klausa kedua yakni ketimpak kayu hanya memiliki unsur P
dengan meniadakan subjek. Oleh sebab itu, klausa kedua dapat diparafrasekan
menjadi ketimpak kayu (sayap e). Frase sayap e berlaku
sebagai S. Baris ke-3 terdiri atas dua klausa yakni klausa punye adat
dan klausa bebudi. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungtor kek
yang berarti dan. Klausa punye adat terdiri atas punye
sebagai P dan adat sebagai O. Klausa ini meniadakan S. Klausa bebudi
hanya terdiri atas P tanpa S. Untuk memunculkan S pada kedua klausa baris ke-3
pantun ini harus dilihat baris ke-4 pantun dan dapat ditarik kesimpulan bahwa S
klausa ini ialah urang Melayu (pada baris ke-4). Dengan demikian,
parafrase baris ke-3 pantun II ini ialah (Urang Melayu) punye adat
kek (urang Melayu) bebudi. Baris ke-4 terdiri atas P + S
yakni tula sebagai P dan jati diri urang Melayu sebagai S. Jika
dilihat dari struktur baris ke-1 sampai baris ke-4 terlihat adanya kesejajaran
unsur-unsur gramatikal dengan pola yang konsisten yakni diawali dengan unsur P
pada awal masing-masing baris pantun. Untuk memperoleh kesejajaran itulah pemantun
menghilangkan unsur S pada baris ke-3.
Sebagai sebuah pulau, Bangka
terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Pada hari libur, pantai-pantai
indah itu dipenuhi masyarakat Bangka. Di pantai itu pula biasanya beterbangan
burung-burung termasuk burung kedidi (burung pantai yang bertubuh kecil dan
biasanya terbang berombongan) yang terdapat dalam sampiran pantun. Selanjutnya
isi pantun menegaskan bahwa orang Melayu mengutamakan sekali adat dan budi
bahasa. Adat yang dimaksudkan ialah etika, tata krama. Misalnya bagaimana adat
kepada orang tua atau orang yang lebih tua, bagaimana adat bertamu, menerima
tamu, dan bagaimana adat makan. Selain itu sebagai bagian dari peradaban
Melayu, orang Melayu hendaknya bebudi. Kata bebudi
(berbudi) dapat berarti memiliki akhlak yang mulia misalnya, sopan santun dan
ramah tamah. Pada dasarnya punye adat dan bebudi
merupakan jati diri orang Melayu yang harus dijunjung tinggi. Dengan pantun
orang dapat menyindir manusia yang tidak berbudi. Diharapkan orang Melayu tidak
lupa akan jati dirinya sebagai bagian dari kosmopolitan peradaban Melayu (lihat
Nurhayati, 2010).
Berikut
dikemukakan parafrase pantun II.
Maen di pantai burung
kedidi
Pata sayap e ketimpak kayu (sayap e)
(Urang Melayu) Punye adat kek
bebudi
Tula jati diri urang
Melayu
Pantun III
Adat istiadat pula dijunjung
Adat istiadat seperti nganggung
Suka duka sama ditanggung
Itu namanya senasib sepenanggung
Baris ke-1 pantun III memiliki pola S+P yakni adat istiadat sebagai
S dan dijunjung sebagai P. Antara S dan P terdapat kata pula yang
bermakna juga. Baris ke-2 terdiri atas S+P yakni adat istiadat
sebagai S dan seperti nganggung sebagai P. Baris ke-3 terdiri atas S+P
yakni suka duka sebagai S dan sama ditanggung sebagai P. Begitu
pula baris ke-4 terdiri atas S+P yakni itu namanya sebagai S senasib
sepenanggung sebagai P.
Unsur-unsur gramatikal yang membentuk pantun III ini terlihat ajeg yakni S+P
dari baris ke-1 sampai baris ke-4. Namun jika dilihat dari rima akhir pantun
terdapat ketidakajegan dengan konvensi pantun itu sendiri. Menurut tata cara
pembuatan pantun, rima akhir pantun bersajak ab-ab. Sementara itu, rima akhir
pantun III ini bersajak aa-aa. Jadi, fungsi sampiran sebagai penyangga rima
akhir pada isi pantun tidak berfungsi. Dengan kata lain, pembuat pantun III
“melanggar” konvensi sehingga pantun tersebut menjadi inkonvensional.
Pelanggaran terhadap konvensi
dapat terjadi dalam sebuah karya sastra. Seperti dikemukakan oleh Teeuw
(dikutip Nurhayati, 2008:21) yakni karya sastra di satu pihak terikat pada
konvensi, tetapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan
konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual, malahan untuk
menentangnya walaupun dalam penentangan itupun pengarang masih terikat.
Penentangan terhadap konvensi tersebut, menurut Teeuw, disebabkan keterpaksaan
demi nilai karyanya sebagai hasil seni. Penyimpangan tersebut sering disebut defamiliarisasi atau deatomatisasi, istilah yang pertama-tama
dipakai Victor Shklovsky.
Bila memperhatikan pantun III terutama pada baris ke-1 dan 2 yang seyogyanya
berfungsi sebagai sampiran terlihat bahwa fungsi itu “dilanggar.” Menurut Halim
(2007) sampiran berfungsi sebagai kalimat pembuka dan bertugas sebagai
pengumpan sajak untuk isi pantun yang berada di kalimat-kalimat selanjutnya.
Jika merujuk kepada pendapat Halim tersebut terlihat bahwa baris pantun ke-1
dan ke-2 bukan hanya sekedar menjadi “pengumpan” sajak melainkan juga berisi
isi yang mengandung pesan pantun.
Baris ke-1 pantun III menyatakan bahwa orang Melayu Bangka menjunjung adat
istiadat. Istilah adat istiadat berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi yang
dilakukan secara terus menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Orang Melayu Bangka sampai saat ini tetap mempertahankan tradisi yang disebut
dengan “nganggung” (baris ke-2). “Nganggung” ialah tradisi membawa makanan yang
terdiri atas nasi lengkap dengan lauk pauknya. Nasi dan lauk pauk itu dibawa
dengan menggunakan tampah. Makanan tersebut merupakan makanan yang terbaik yang
dapat disajikan oleh sebuah keluarga. Makanan yang diletakkan di dalam tampah
itu dibawa ke mesjid untuk dihidangkan bersama dengan makanan yang dibawa oleh
keluarga lainnya. Seluruh penduduk desa melakukan itu bersama-sama dan
berkumpul di mesjid. Acara nganggung dilaksanakan pada waktu peringatan hari
besar umat Islam seperti mauludan dan Isra’ Mi’raj (Nurhayati, 2010:183).
Tradisi nganggung ini menunjukkan bahwa orang Melayu Bangka pada dasarnya
menyadari bahwa dirinya sebagai manusia pribadi yang individual tidak terlepas
dari sesamanya. Menurut Krech (Nurhayati, 2010:183) manusia sebagai individual
in society. Masyarakat Bangka menganggap satu dan yang lainnya ialah
bersaudara. Oleh sebab itu, suka dan duka dalam berkehidupan bermasyarakat
dirasakan dan ditanggung bersama. Hal-hal yang berkaitan dengan suka dan duka
menjadi “urusan” seluruh kampung. Hal ini terasa sekali terutama
di daerah pedesaan (kampung).
Pantun IV
Derite laen ade
pule
Derita lain ada juga
Kalok sahang jatu
harge
Jika lada jatuh harga
Harte bende kek
sirne
Harta benda akan sirna
Dijual nek buat
belanje
Dijual untuk uang belanja
Baris ke-1 pantun IV terdiri atas
S+P. Derita laen merupakan S sedangkan ade pule merupakan P.
Baris ke-2 yang berbunyi kalok sahang jatu harge merupakan klausa
terikat yang berkaitan dengan baris ke-3 yakni harte bende kek sirne.
Klausa kalok sahang jatu harge terdiri atas unsur S+P. Unsur S ialah sahang
dan unsur P ialah jatu harge dan didahului dengan konjungtor kalok.
Klausa harte bende kek sirne terdiri atas unsur S+P. Unsur S ialah harte
bende sedangkan unsur P ialah kek sirne. Baris ke-4 terdiri atas
P+K. Unsur P ialah dijual dan unsur nek buat belanje ialah K.
Karena baris ke-4 berkaitan erat dengan baris ke-3 dapat ditandai bahwa yang
menjadi unsur S pada baris ke-4 pantun IV ini ialah harte bende. Dengan
demikian, secara lengkap baris ke-4 berbunyi (harte bende) dijual nek
buat belanje. Penghilangan S pada baris ke-4 dapat dimaklumi karena jika S
dimunculkan jumlah suku kata pada baris terakhir ini akan melebihi konvensi
pantun yakni tidak melebihi 12 suku kata. Akibatnya jika dimunculkan S pada
baris itu akan menimbulkan ketidakharmonisan baik dalam bentuk formal maupun
dalam peritmaan.
Selain itu, pantun IV “melanggar”
konvensi pantun tentang sampiran. Baris ke-1 dan ke-2 pantun IV bukan berisi
sampiran. Baris ke-1 dan ke-2 pada pantun IV berisi isi yang berkaitan
dengan baris ke-3 dan ke-4. Pelanggaran konvensi seperti yang terjadi dalam
pantun IV ini sejalan dengan pernyataan Sudjiman (1993:19-20) yakni dalam
proses kreatifnya penyair (dalam hal ini penulis pantun) dapat menyimpang dari
konvensi yang berlaku.
Pantun IV mengungkapkan keadaan
ekonomi masyarakat Melayu Bangka. Bangka terkenal dengan lada putih (sahang).
Sebelum Pemerintah Daerah mengizinkan masyarakat menambang timah (tambang
inkonvensional), masyarakat Bangka umumnya menjadi petani lada. Dulu lada
sebagai komoditas utama Pulau Bangka. Walaupun menanam lada tidak gampang
karena tanaman lada membutuhkan perhatian yang cukup tinggi, masyarakat
Bangka di kampung-kampung dulunya bergantung hidupnya kepada hasil lada. Harga
lada sering tidak stabil. Kadang harganya tiggi kadang turun secara drastis.
Harga lada pernah melambung tinggi yakni mencapai Rp 100.000,00 per kilogram
tapi kini rata-rata berkisar Rp 20.000,00. Penduduk Bangka kurang dapat
menabung terutama yang berada di kampung-kampung. Apabila mendapat uang dari
hasil panen, mereka berlomba-lomba membeli barang-barang konsumtif seperti
televisi, kulkas, dan sepeda motor. Bahkan setiap orang anak memiliki satu
sepeda motor. Akibat perilaku konsumtif itu, ketika harga lada jatuh penduduk
menjual peralatan rumah tangga satu per satu tentu saja dengan harga murah
untuk menghidupi rumah tangga.
Berikut dikemukakan parafrase
pantun IV.
Derite laen ade
pule
Kalok sahang jatu
harge
Harte bende kek
sirne
(Harte bende) dijual nek buat
belanje
KESIMPULAN
Melalui kajian stilistik terhadap empat pantun Melayu Bangka dapat diketahui
struktur gramatikal pantun. Pantun I memiliki pola S+P; P+O+P+Pel;
konjungtor+S+P; S+P. Jika dilihat dari keberadaan sampiran, pantun I memiliki
sampiran lalu disusul dengan isi pantun. Akan tetapi, pada pantun I terdapat
pengurangan bunyi akhir (huruf) demi kesamaan rima akhir pantun. Pantun II
memiliki pola P+K+S; P+S+P+Pel; P+O+P; P+S. Pantun II memiliki kesejajaran
dalam pola yaitu dimulai dengan unsur P. Selain itu, terdapat sampiran dan isi
dalam pantun II serta bersajak ab, ab. Pantun III berpola S+P; S+P; S+P; S+P.
Dengan demikian, terlihat adanya kekonsistenan dalam pola kalimat. Akan tetapi,
pantun III tidak memiliki sampiran dan bersajak aa, aa. Pantun IV berpola S+P;
S+P; S+P: P+K. Pantun IV tidak memiliki sampiran dan bersajak aa,aa.
Bila melihat pola kalimat pantun yang dikaji terdapat keberagaman pola kalimat
pantun. Jika dilihat dari konvensi penulisan pantun terlihat adanya upaya untuk
melanggar konvensi tersebut. Dari kajian terhadap pantun Melayu Bangka dapat
diketahui pula keadaan masyarakat Melayu Bangka.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan;
Soenjono Dardjowidjojo; Hans Lapoliwa; Anton M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Republik Indonesia.
Ara, L.K. dan
Suhamimi Sulaiman (Ed.). 2005. Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun
& Puisi. Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang & Yayasan Nusantara
& PT PLN Wil. Babel: PT Media Bangka Grafika.
Ara, L.K., Suhaimi Sulaiman, dan Irmansyah. 2005. Pelangi
Budaya Bangka Tengah: Antologi Karya Sastra dan Budaya. Dinas DIKPARBUD
Kab. Bangka Tengah: Dwika Lens Publishing.
Basyarsyah II, Tuanku Luckman
Sinar dan Wan Syaifuddin. 2002. Kebudayaan Melayu
Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Press.
Djatmika. 2004.
Bahasa Tindak Kriminal: Pendekatan Stylistics dengan Analisis Penamaan
dan Transitivity tentang Posisi Wanita sebagai Korban kejahatan. Linguistik
Indonesia: Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. 22 (1): 105—126.
Halim, Syaiful.
2007. Kario Kurawa dan Pantun Melayu. Diakses dari syaifulhalim.blogspot.com
pada tanggal 28 Agustus 2011.
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 2008. Revitalisasi Tradisi Berpantun. Diakses dari http://www.rajaalihaji.com
pada tanggal 28 Agustus 2011.
Leech,
G.N. dan Short, M.H. 1984. Style in Fiction. London: Longman.
Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistik.
Palembang: Unsri.
Nurhayati.
2010. Pantun Melayu Bangka: Cermin Jati Diri Orang Melayu Bangka. Dalam Suhardi
Mukmin (Ed.). Bianglala Bahasa dan Sastra. Jakarta:
Izhar. Hlm. 170—184.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakrta: Pustaka
Utama Grafiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar