Rabu, 12 Desember 2012




PENGGUNAAN BAHASA DALAM PANTUN MELAYU BANGKA: SEBUAH KAJIAN STILISTIK1


Oleh Nurhayati2   
Abstrak

            Pantun Melayu Bangka merupakan salah satu produk budaya yang tetap hidup di Pulau Bangka. Karena mediumnya bahasa, pantun dapat dikaji melalui garapan stilistik. Melalui kajian stilistik terhadap pantun Melayu Bangka dapat diketahui penggunaan bahasa dalam pantun, perlakuan pemantun terhadap konvensi pantun, dan sekaligus makna yang terdapat di dalam pantun itu sendiri. Pantun Melayu Bangka yang dikaji memiliki keberagaman pola kalimat pantun. Jika dilihat dari konvensi penulisan pantun terdapat upaya untuk melanggar konvensi tersebut. Pantun Melayu Bangka merupakan refleksi dari keadaan masyarakat Melayu Bangka.

Kata-kata kunci: pantun, Melayu Bangka, kajian stilistik

PENDAHULUAN           
            Pantun Melayu Bangka merupakan salah satu produk budaya yang tetap hidup di Pulau Bangka (salah satu pulau di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Bahkan Halim (2007) mengatakan bahwa orang Melayu Bangka merupakan pujangga. Hal itu disebabkan masyarakat Melayu Bangka sering menggunakan pantun dalam aktivitas sehari-harinya. Menurut pengamatan Halim, pantun dalam kehidupan masyarakat Melayu Bangka bukan hanya digunakan pada kegiatan formal melainkan juga digunakan dalam kegiatan nonformal. Masyarakat Melayu Bangka berpantun baik dalam keadaan gembira, duka maupun marah.
            Secara teoretis, pantun terdiri atas empat baris dengan ketentuan sebagai berikut. Pantun terdiri atas dua baris sampiran (tumpuan bicara). Sampiran menjadi petunjuk rima pantun. Selain dua baris sampiran tersebut pantun terdiri atas dua baris isi. Isi pantun merupakan inti atau maksud pantun dengan rima (persajakan) bersilang abab. Dengan kata lain, rima pantun merujuk kepada dua baris sampiran di atasnya (Herfanda, 2008). Di samping itu, pantun memiliki ciri yaitu jumlah suku kata dalam tiap baris antara delapan sampai dua belas suku kata. Dengan demikian, pantun merupakan karya sastra yang terikat oleh aspek sampiran, isi, rima, dan jumlah suku kata per baris.      
            Pantun sebagai salah satu karya sastra bermediumkan bahasa. Karena mediumnya adalah bahasa, pantun dapat dikaji atau diamati melalui bahasa yang digunakan di dalam pantun. Kajian yang dipergunakan untuk melihat bahasa teks (pantun) adalah kajian stilistik. Menurut Djatmika (2004:107) “Stilistika adalah ilmu yang mempelajari tentang style sebuah teks.” Lebih jauh ia menyatakan keunggulan dalam menerapkan kajian stilistik terhadap teks yakni dapat memberikan analisis yang sistematis terhadap teks yang dikaji. Kajian stilistik juga dapat dikerjakan dengan melibatkan unsur konteks dari teks itu. Jika mengambil pernyataan Becker (Nurhayati, 2008:5) stilistika adalah suatu tempat pertemuan antara mikroanalisis dan makroanalisis.
            Sudjiman (1993:v-vi) mengungkapkan bahwa titik berat pengkajian stilistik terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu karya sastra, tetapi tujuannya adalah meneliti efek estetika bahasa. Dengan demikian, stilistika dapat menjadi instrumen untuk lebih memahami suatu karya sastra. Pemahaman yang lebih baik ini pada gilirannya memungkinkan pembaca memberi apresiasi dan penilaian secara benar. Di samping itu, Sudjiman menyatakan pula bahwa pengkajian stilistik juga menyadarkan pembaca akan kiat penulis dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkap makna. Hal ini diungkapkan pula oleh Leech dan Short (1984:74) ... every analysis of style ... is an attempt to find the artistic principles underlying a writer's choice of language. All writers ... have their individual qualities.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengkajian dari aspek bahasa yang terdapat di dalam pantun dapat membantu dalam menafsirkan makna pantun itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pertemuan antara aspek mikro dan makro dalam analisis stilistik. Seperti dikemukakan Spitzer (dalam Leech dan Short, 1984:13) pada dasarnya kajian stilistik bertujuan memberikan dua kecakapan yaitu kemampuan untuk mengobservasi bahasa karya sastra dan kemampuan meresponsnya. Kajian yang dilakukan terhadap pantun Melayu Bangka ini menggunakan pendekatan stilistik untuk melihat unsur mikro (teks) dan selanjutnya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan unsur makro (konteks).  

METODOLOGI
Alat Kajian
            Teori yang digunakan untuk mengkaji bahasa yang terdapat dalam pantun-pantun Melayu Bangka adalah teori kebahasaan yang termuat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Di samping itu, digunakan pula teori-teori yang berhubungan dengan kajian stilistik lainnya seperti diksi dan rima. Karena pantun merupakan karya sastra yang terikat kepada jumlah suku kata per baris, usaha penggalian unsur-unsur gramatikal baris-baris pantun dibarengi dengan upaya memparafrasekan baris-baris pantun. Pemparafrasean dilakukan dengan cara menambahkan unsur-unsur (kata-kata) yang lesap atau hilang. Tambahan pula karena pantun merupakan karya sastra yang terikat oleh seperangkat konvensi yang telah dikemukakan terdahulu, kajian ini pun membahas keterkaitan pantun dengan konvensi pantun.
Berikut dikemukakan tipe-tipe kalimat dasar inti bahasa Indonesia yang dijadikan alat untuk menganalisis pantun-pantun Melayu Bangka. Tipe-tipe kalimat dasar inti mencakup enam macam. Keenam tipe kalimat dasar inti dibedakan berdasarkan pola unsur-unsur yang wajib berdasarkan fungsi atau kategori. Agar mudah memahaminya keenam tipe kalimat dasar inti tersebut disajikan dalam bentuk tabel. 




Contoh
Fungsi Tipe
Subjek (S)
Predikat (P)
Objek (O)
Pelengkap (Pel)
Keterangan (K)
a.   S-P
Orang itu
Saya
sedang tidur
mahasiswa
-
-
-
-
-
-
b.   S-P-O
Ayahnya
membeli
mobil
-
-
c.   S-P-Pel
Beliau
menjadi
-
ketua koperasi
-
-
d.   S-P-K
Kami
Kecelakaan itu
tinggal
terjadi
-
-
-
-
di Jakarta
minggu lalu
e.   S-P-O-Pel
Dia
Dian
mengirimi
mengambilkan
ibunya
adiknya
uang
air minum
-
-
f.    S-P-O-K
Pak Raden
Beliau
memasukkan
memperlakukan
uang
kami
-
-
ke bank
dengan baik

Dikutip dari Alwi dkk. (1993:362).



Data dan Sumber Data
          Walaupun pantun umumnya dikemukakan secara lisan, pantun yang dianalisis ini merupakan pantun yang ditulis dalam buku yang berjudul Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun & Puisi serta  Pelangi Budaya Bangka Tengah dan pantun  yang diunduh dari internet yang berasal dari pujangga Melayu Bangka.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN
            Berikut disajikan kajian stilistik terhadap serangkaian pantun Melayu Bangka disertai interpretasi terhadap pantun-pantun tersebut.

Pantun I

Gadis melayu berambut panjang
Pakai selendang berbaju kurun
Walaupun Pulau Bangka penuh lubang
Di sini tempat lahir pujangga pantun

            Pantun I terdiri atas empat baris yang mengikuti prinsip pembuatan pantun yaitu dua baris pertama berupa sampiran sedangkan dua baris kedua merupakan isi. Baris pertama pantun di atas terdiri atas dua unsur yakni S+P. Gadis melayu ialah S sedangkan berambut panjang ialah P.  Baris ke-2 terdiri atas dua klausa tanpa melibatkan S. Klausa pertama yakni pakai selendang dan klausa kedua yakni berbaju kurun. Bila dikaitkan dengan baris pertama jelas sekali bahwa yang menjadi S baris kedua ialah gadis melayu. Dengan demikian, konstruksi baris tersebut ialah P+O+P+Pel. Pakai ialah P, selendang sebagai O dan berbaju sebagai P dan kurun sebegai Pel. Jika diparafrasa baris kedua akan berbunyi (gadis melayu itu) (me) pakai selendang (dan) berbaju kurun. Bila diperhatikan rima akhir baris ke-2  terlihat adanya penghilangan huruf g pada kata kurun. Hal itu dilakukan untuk menyelaraskannya dengan baris ke-4 pantun. Jadi, demi rima akhir yang sama, pemantun melakukan penghilangan huruf g tersebut. Baris ke-3 pantun walaupun Pulau Bangka penuh lubang merupakan klausa terikat yang diawali dengan konjungtor walaupun dengan baris ke-4 pantun yang menjadi klausa bebasnya yakni di sini tempat lahir pujangga pantun. Dengan demikian, jika kedua baris itu digabungkan akan berbunyi walaupun Pulau Bangka penuh lubang, di sini tempat lahir pujangga pantun. Apabila dianalisis unsur-unsur gramatikal pembentuk kedua baris pantun tersebut akan diperoleh bahwa klausa terikat terdiri atas Pulau Bangka (S) + penuh lubang (P). Sementara itu, klausa bebas terdiri atas di sini(lah) tempat lahir(nya) sebagai S dan  pujangga pantun sebagai P.     
            Baris ke-1 dan 2 pantun I tersebut mengungkapkan bahwa orang Bangka (urang Bangke/Bangkek) termasuk rumpun Melayu. Menurut Basyarsyah II (2002:17) seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari dan beradat istiadat Melayu. Dengan melihat konsep seperti itu, gadis-gadis Melayu memiliki tradisi berpakaian yang mencerminkan budaya Melayu yakni memakai baju kurung dan menggunakan selendang. Baju kurung plus selendang ini terutama digunakan dalam acara keagamaan dan pernikahan.
            Baris ke-3 dan 4 berisi informasi bahwa Pulau Bangka dewasa ini dalam kondisinya penuh dengan lubang. Lubang-lubang itu ialah lubang-lubang bekas galian timah. Setelah timah digali ditinggalkan begitu saja oleh penggalinya tanpa ditimbun kembali. Sebagai kontradiksi dari keadaan tersebut, satu hal (sebagai penghibur diri) di tanah yang sudah rusak itu lahir pujangga-pujangga pantun. Salah seorang pujangga pantun yang terkenal dari Pulau Bangka bernama Kario Kurawa.
            Berikut dikemukakan parafrase pantun I.
Gadis melayu berambut panjang
(Gadis melayu) (me) Pakai selendang (dan) berbaju kurun
Walaupun Pulau Bangka penuh lubang
Di sini(lah) tempat lahir(nya) pujangga pantun
Pantun II

Maen di pantai  burung kedidi                Main di pantai burung kedidi
Pata sayap e ketimpak kayu                   Patah sayapnya tertimpa kayu
Punye adat kek bebudi                          Punya adat serta berbudi
Tula jati diri urang Melayu                       Itulah jati diri orang Melayu

            Baris ke-1 pantun II memiliki struktur gramatikal P+K+S. Kata maen merupakan P, frase adverbial  di pantai merupakan K dan frase nominal burung kedidi sebagai S. Baris ke-2 terdiri atas dua klausa yakni pata sayap e dan ketimpak kayu. Klausa pertama pata sayap e terdiri atas pata sebagai P dan sayap e sebagai S. Sementara itu, klausa kedua yakni ketimpak kayu hanya memiliki unsur P dengan meniadakan subjek. Oleh sebab itu, klausa kedua dapat diparafrasekan menjadi ketimpak kayu (sayap e). Frase sayap e berlaku sebagai S. Baris ke-3 terdiri atas dua klausa yakni klausa punye adat dan klausa bebudi. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungtor kek yang berarti dan. Klausa punye adat terdiri atas punye sebagai P dan adat sebagai O. Klausa ini meniadakan S. Klausa bebudi hanya terdiri atas P tanpa S. Untuk memunculkan S pada kedua klausa baris ke-3 pantun ini harus dilihat baris ke-4 pantun dan dapat ditarik kesimpulan bahwa S klausa ini ialah urang Melayu (pada baris ke-4). Dengan demikian, parafrase baris ke-3 pantun II ini ialah (Urang Melayu) punye adat kek (urang Melayu) bebudi. Baris ke-4 terdiri atas P + S yakni tula sebagai P dan jati diri urang Melayu sebagai S. Jika dilihat dari struktur baris ke-1 sampai baris ke-4 terlihat adanya kesejajaran unsur-unsur gramatikal dengan pola yang konsisten yakni diawali dengan unsur P pada awal masing-masing baris pantun. Untuk memperoleh kesejajaran itulah pemantun menghilangkan unsur S pada baris ke-3.    
Sebagai sebuah pulau, Bangka terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Pada hari libur, pantai-pantai indah itu dipenuhi masyarakat Bangka. Di pantai itu pula biasanya beterbangan burung-burung termasuk burung kedidi (burung pantai yang bertubuh kecil dan biasanya terbang berombongan) yang terdapat dalam sampiran pantun. Selanjutnya isi pantun menegaskan bahwa orang Melayu mengutamakan sekali adat dan budi bahasa. Adat yang dimaksudkan ialah etika, tata krama. Misalnya bagaimana adat kepada orang tua atau orang yang lebih tua, bagaimana adat bertamu, menerima tamu, dan bagaimana adat makan. Selain itu sebagai bagian dari peradaban Melayu, orang Melayu hendaknya bebudi.  Kata bebudi (berbudi) dapat berarti memiliki akhlak yang mulia misalnya, sopan santun dan ramah tamah. Pada dasarnya punye adat   dan bebudi merupakan jati diri orang Melayu yang harus dijunjung tinggi. Dengan pantun orang dapat menyindir manusia yang tidak berbudi. Diharapkan orang Melayu tidak lupa akan jati dirinya sebagai bagian dari kosmopolitan peradaban Melayu (lihat Nurhayati, 2010).
            Berikut dikemukakan parafrase pantun II.
Maen di pantai  burung kedidi               
Pata sayap e ketimpak kayu (sayap e)   
(Urang Melayu) Punye adat kek bebudi                          
Tula jati diri urang Melayu                      


Pantun III

Adat istiadat pula dijunjung
Adat  istiadat seperti nganggung
Suka duka sama ditanggung
Itu namanya senasib sepenanggung

            Baris ke-1 pantun III  memiliki pola S+P yakni adat istiadat sebagai S dan dijunjung sebagai P. Antara S dan P terdapat kata pula yang bermakna juga. Baris ke-2 terdiri atas S+P yakni adat istiadat sebagai S dan seperti nganggung sebagai P. Baris ke-3 terdiri atas S+P yakni suka duka sebagai S dan sama ditanggung sebagai P. Begitu pula baris ke-4 terdiri atas S+P yakni itu namanya sebagai S senasib sepenanggung sebagai P.
            Unsur-unsur gramatikal yang membentuk pantun III ini terlihat ajeg yakni S+P dari baris ke-1 sampai baris ke-4. Namun jika dilihat dari rima akhir pantun terdapat ketidakajegan dengan konvensi pantun itu sendiri. Menurut tata cara pembuatan pantun, rima akhir pantun bersajak ab-ab. Sementara itu, rima akhir pantun III ini bersajak aa-aa. Jadi, fungsi sampiran sebagai penyangga rima akhir pada isi pantun tidak berfungsi. Dengan kata lain, pembuat pantun III “melanggar” konvensi sehingga pantun tersebut menjadi inkonvensional.
Pelanggaran terhadap konvensi dapat terjadi dalam sebuah karya sastra. Seperti dikemukakan oleh Teeuw (dikutip Nurhayati, 2008:21) yakni karya sastra di satu pihak terikat pada konvensi, tetapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkannya secara individual, malahan untuk menentangnya walaupun dalam penentangan itupun pengarang masih terikat. Penentangan terhadap konvensi tersebut, menurut Teeuw, disebabkan keterpaksaan demi nilai karyanya sebagai hasil seni. Penyimpangan tersebut sering disebut defamiliarisasi atau deatomatisasi, istilah yang pertama-tama dipakai Victor Shklovsky.
            Bila memperhatikan pantun III terutama pada baris ke-1 dan 2 yang seyogyanya berfungsi sebagai sampiran terlihat bahwa fungsi itu “dilanggar.” Menurut Halim (2007) sampiran berfungsi sebagai kalimat pembuka dan bertugas sebagai pengumpan sajak untuk isi pantun yang berada di kalimat-kalimat selanjutnya. Jika merujuk kepada pendapat Halim tersebut terlihat bahwa baris pantun ke-1 dan ke-2 bukan hanya sekedar menjadi “pengumpan” sajak melainkan juga berisi isi yang mengandung pesan pantun. 
            Baris ke-1 pantun III menyatakan bahwa orang Melayu Bangka menjunjung adat istiadat. Istilah adat istiadat berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi yang dilakukan secara terus menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Orang Melayu Bangka sampai saat ini tetap mempertahankan tradisi yang disebut dengan “nganggung” (baris ke-2). “Nganggung” ialah tradisi membawa makanan yang terdiri atas nasi lengkap dengan lauk pauknya. Nasi dan lauk pauk itu dibawa dengan menggunakan tampah. Makanan tersebut merupakan makanan yang terbaik yang dapat disajikan oleh sebuah keluarga. Makanan yang diletakkan di dalam tampah itu dibawa ke mesjid untuk dihidangkan bersama dengan makanan yang dibawa oleh keluarga lainnya. Seluruh penduduk desa melakukan itu bersama-sama dan berkumpul di mesjid. Acara nganggung dilaksanakan pada waktu peringatan hari besar umat Islam seperti mauludan dan  Isra’ Mi’raj (Nurhayati, 2010:183).
            Tradisi nganggung ini menunjukkan bahwa orang Melayu Bangka  pada dasarnya menyadari bahwa dirinya sebagai manusia pribadi yang individual tidak terlepas dari sesamanya. Menurut Krech (Nurhayati, 2010:183) manusia sebagai  individual in society. Masyarakat Bangka menganggap satu dan yang lainnya ialah bersaudara. Oleh sebab itu, suka dan duka dalam berkehidupan bermasyarakat dirasakan dan ditanggung bersama. Hal-hal yang berkaitan dengan suka dan duka menjadi “urusan”  seluruh kampung. Hal ini terasa sekali terutama di daerah pedesaan (kampung).

Pantun IV

Derite laen ade pule                   Derita lain ada juga
Kalok sahang jatu harge             Jika lada jatuh harga
Harte bende kek sirne                Harta benda akan sirna
Dijual nek buat belanje               Dijual untuk uang belanja

Baris ke-1 pantun IV terdiri atas S+P. Derita laen merupakan S sedangkan ade pule merupakan P. Baris ke-2 yang berbunyi kalok sahang jatu harge merupakan klausa terikat  yang berkaitan dengan baris ke-3 yakni harte bende kek sirne. Klausa kalok sahang jatu harge terdiri atas unsur S+P. Unsur S ialah sahang dan unsur P ialah jatu harge dan didahului dengan konjungtor kalok. Klausa harte bende kek sirne terdiri atas unsur S+P. Unsur S ialah harte bende sedangkan unsur P ialah kek sirne. Baris ke-4 terdiri atas P+K. Unsur P ialah dijual dan unsur nek buat belanje ialah K. Karena baris ke-4 berkaitan erat dengan baris ke-3 dapat ditandai bahwa yang menjadi unsur S pada baris ke-4 pantun IV ini ialah harte bende. Dengan demikian, secara lengkap baris ke-4 berbunyi (harte bende) dijual nek buat belanje. Penghilangan S pada baris ke-4 dapat dimaklumi karena jika S dimunculkan jumlah suku kata pada baris terakhir ini akan melebihi konvensi pantun yakni tidak melebihi 12 suku kata. Akibatnya jika dimunculkan S pada baris itu akan menimbulkan ketidakharmonisan baik dalam bentuk formal maupun dalam peritmaan.
Selain itu, pantun IV “melanggar” konvensi pantun tentang sampiran. Baris ke-1 dan ke-2 pantun IV bukan berisi sampiran. Baris ke-1 dan ke-2 pada pantun IV berisi isi yang berkaitan dengan baris ke-3 dan ke-4. Pelanggaran konvensi seperti yang terjadi dalam pantun IV ini sejalan dengan pernyataan Sudjiman (1993:19-20) yakni dalam proses kreatifnya penyair (dalam hal ini penulis pantun) dapat menyimpang dari konvensi yang berlaku.  
Pantun IV mengungkapkan keadaan ekonomi masyarakat Melayu Bangka. Bangka terkenal dengan lada putih (sahang). Sebelum Pemerintah Daerah mengizinkan masyarakat menambang timah (tambang inkonvensional), masyarakat Bangka umumnya menjadi petani lada. Dulu lada sebagai komoditas utama Pulau Bangka. Walaupun menanam lada tidak gampang karena tanaman lada membutuhkan perhatian yang cukup tinggi,  masyarakat Bangka di kampung-kampung dulunya bergantung hidupnya kepada hasil lada. Harga lada sering tidak stabil. Kadang harganya tiggi kadang turun secara drastis. Harga lada pernah melambung tinggi yakni mencapai Rp 100.000,00 per kilogram tapi kini rata-rata berkisar Rp 20.000,00. Penduduk Bangka kurang dapat menabung terutama yang berada di kampung-kampung. Apabila mendapat uang dari hasil panen, mereka berlomba-lomba membeli barang-barang konsumtif seperti televisi, kulkas, dan sepeda motor. Bahkan setiap orang anak memiliki satu sepeda motor. Akibat perilaku konsumtif itu, ketika harga lada jatuh penduduk menjual peralatan rumah tangga satu per satu tentu saja dengan harga murah untuk menghidupi rumah tangga.
Berikut dikemukakan parafrase pantun IV.  

Derite laen ade pule                              
Kalok sahang jatu harge            
Harte bende kek sirne               
(Harte bende) dijual nek buat belanje                 

KESIMPULAN
            Melalui kajian stilistik terhadap empat pantun Melayu Bangka dapat diketahui struktur gramatikal pantun. Pantun I memiliki pola S+P; P+O+P+Pel; konjungtor+S+P; S+P. Jika dilihat dari keberadaan sampiran, pantun I memiliki sampiran lalu disusul dengan isi pantun. Akan tetapi, pada pantun I terdapat pengurangan bunyi akhir (huruf) demi kesamaan rima akhir pantun. Pantun II memiliki pola P+K+S; P+S+P+Pel; P+O+P; P+S. Pantun II memiliki kesejajaran dalam pola yaitu dimulai dengan unsur P. Selain itu, terdapat sampiran dan isi dalam pantun II serta bersajak ab, ab. Pantun III berpola S+P; S+P; S+P; S+P. Dengan demikian, terlihat adanya kekonsistenan dalam pola kalimat. Akan tetapi, pantun III tidak memiliki sampiran dan bersajak aa, aa. Pantun IV berpola S+P; S+P; S+P: P+K. Pantun IV tidak memiliki sampiran dan bersajak aa,aa.
            Bila melihat pola kalimat pantun yang dikaji terdapat keberagaman pola kalimat pantun. Jika dilihat dari konvensi penulisan pantun terlihat adanya upaya untuk melanggar konvensi tersebut. Dari kajian terhadap pantun Melayu Bangka dapat diketahui pula keadaan masyarakat Melayu Bangka.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan; Soenjono Dardjowidjojo; Hans Lapoliwa; Anton M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Republik Indonesia.
Ara, L.K. dan Suhamimi Sulaiman (Ed.). 2005.  Bangka Belitung Bercahaya dalam Pantun & Puisi. Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang & Yayasan Nusantara & PT PLN Wil. Babel: PT Media Bangka Grafika.
Ara, L.K., Suhaimi Sulaiman, dan Irmansyah. 2005. Pelangi Budaya Bangka Tengah: Antologi Karya Sastra dan Budaya. Dinas DIKPARBUD Kab. Bangka Tengah: Dwika Lens Publishing.

Basyarsyah II, Tuanku Luckman Sinar dan Wan Syaifuddin. 2002. Kebudayaan      Melayu Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Press.

Djatmika. 2004. Bahasa Tindak Kriminal: Pendekatan Stylistics dengan Analisis Penamaan dan Transitivity tentang Posisi Wanita sebagai Korban kejahatan. Linguistik Indonesia: Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. 22 (1): 105—126.
Halim, Syaiful. 2007. Kario Kurawa dan Pantun Melayu. Diakses dari syaifulhalim.blogspot.com pada tanggal 28 Agustus 2011.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Revitalisasi Tradisi Berpantun. Diakses dari http://www.rajaalihaji.com pada tanggal 28 Agustus 2011.
Leech, G.N. dan Short, M.H. 1984. Style in Fiction. London: Longman.
Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistik. Palembang: Unsri.
Nurhayati. 2010. Pantun Melayu Bangka: Cermin Jati Diri Orang Melayu Bangka. Dalam Suhardi Mukmin (Ed.). Bianglala Bahasa dan Sastra. Jakarta: Izhar. Hlm. 170—184.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakrta: Pustaka Utama Grafiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar