KEDIDI PENUNGGU PADI
DAN
TIKUS YANG RAKUS
Oleh : Jaka Filyamma
Mentari bersinar sangat berani
pagi itu. Menyinari ladang di tengah hutan belantara. Kicau burung kedidi pun
riang menyambut padi yang indah, Ia berputar putar dengan sebelah kakinya…
Satu…dua…tiga…Kedidi menghitung
langkahnya maju dan mundur sesekali ia menekukkan kakinya berjongkok sedangkan
matanya selalu waspada pemperhatikan sekeliling.
Apa
ya…yang diperhatikan burung kedidi. Tiba-tiba ia mendengar suara daun kering
berbunyi. Kresek…kresek, “Hei siapa itu!!” teriak kedidi sambil berdiri tapi
masih dalam gerakan semula.
“Ayo cepat keluar….Kuhitung sampai
tiga, kalau tidak keluar juga, rasakan akibatnya,” katanya menggertak dan
mengerakkan kakinya mulai menghitung. Satu…..dua…., “Ayo keluar, jangan buat
aku semakin marah!” burung kecil itu berkecak pinggang sepertinya marah.
Akhirnya sampai pada hitungan yang ketiga, Tiiiiiiiii…… GA! Kedidi dengan cepat
berlari mendekati sumbe suara itu.
“Ampum …. Ampun…Pak
kedidi..ampun..,” rupanya seekor anak tikus sedang bersembunyi di balik daun.
”Apa yang sedang kamu lakukan?“
tanya kedidi pada anak tikus yang gemetaran karena ketakutan.
”Saya…. Saya… saya….,”
“Saya apa!” bentak kedidi lagi, “Kamu
pasti akan menggigit batang padi ya!” kata Kedidi sambil mengibaskan sayapnya.
Tiba-tiba dari balik daun yang lain
keluar induk tikus, “Hai kedidi, kau beraninya dengan anak kecil, Coba lawan
aku.“ kata induk tikus membusungkan dadanya …
”Oh ada yang tua rupanya,“ kedidi tak
sedikitpun gentar melihat badan induk tikus yang dua kali lebih besar darinya.
”Dasar tikus kerjanya hanya mengerat
pohon padi saja,”
“Apa mau mu,“ induk tikuspun menjadi
marah mendengar kedidi berkata begitu, “Jangan mentang-mentang kau bisa terbang
mau seenak kamu ya…,” kata tikus lagi sedangkan anak tikus tadi sibuk dengan
batang padi temuannya yang masih berdiri tegak.
“Hei….jangan kau gigit batang padi
itu,“ Kedidi mengepakkan sayapnya menghampiri anak tikus tapi di hadang
induknya.
“Lawan aku Hai kedidi serakah “ kata
induk tikus lagi.
Pertengkaran kedidi dan tikus tidak sampai puncaknya, dari kejauhan
terdengar suara: Kreat … kreot… kreat…. Kreot.
“Cepat nak lari ada orang,“ Induk
tikus lari sambil memegang tangan anaknya yang masih memeluk batang padi.
Kedidi hanya terbang dan hinggap di pucuk batang padi sehingga bergoyang.
Setelah sore pemilik ladang
sudah pulang, Burung kedidi tertidur di pucuk pohon padi yang bergoyang.
“Hei…. Kedidi
sombong..pemalas…,” kedidi terkejut mendengar jeritan induk tikus di bawahnya, Hampir saja ia terjatuh.
“Ada apa Tikus…. Kamu dan
bangsamu tidak boleh memakan batang padi ini carilah tempat lain …,” kata
kedidi sambil pindah ke batang padi yang lain.
“Sombong serakah,” kata induk
tikus.
“Kamu yang serakah, Rakus” kata
kedidi membela diri.
“Mengapa kamu melarang kami
mencari makan disini, Memangnya ini punya siapa,” kata tikus ingin tau.
“Ladang ini punya pak Seman,
manusia yang kemarin kau lihat,”
“Lalu mengapa kamu yang sibuk? “
tanya Induk tikus lagi.
“Dasar tikus bodoh. Kalau kamu
menggigit batang padi itu semua akan celaka, kau mengerti?” kata Kedidi
menerangkan.
“Ha……ha….ha…,” tikus tertawa,
“Celaka? tak mungkin Kedidi, kami tak akan celaka. Karna kami pintar tidak
seperti kau pemalas. Bodoh…”
“Baik coba kamu
pikir, kalau kamu menggigit pohon padi ini manusia tidak dapat panen
padi dan artinya semua akan rugi…,”
Tikus semakin bingung dengan
omongan kedidi apa hubungannya dengan kami hai kedidi…tanyanya.
“Dasar tikus! Pakailah otakmu,
tentu saja dengan hilangnya batang padi yang sehari dapat berpuluh-puluh kau
makan…maka manusia akan marah. Dan mereka akan mencari kalian semua untuk
membunuh bangsa tikus, karena padinya mati.”
“Ah! Kalau tidak ada yang
memberitahunya tak akan mereka tahu kalau kami yang menggigitnya,” tikus masih
membela diri.
Kedidi menjadi tambah jengkel,
”Terserah saja apa yang akan kamu lakukan tapi jangan di sini, cari saja ladang
yang lain,” kata kedidi sambil menujuk ke arah hutan yang lebat.
Malam telah datang Kedidi
terbang kembali ke rumahnya berkumpul dengan keluarga dan bernyanyi menyambut
datangnya malam.
Keesokan harinya, alangkah
terkejutnya Burung Kedidi mendapati ladang pak Seman, lading yang dijagainya
tinggal setengah saja.
“Ya ampun…. Ini pasti ulah Tikus
yang rakus itu!“ kedidi hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Hai…tikus….. Hentikan semua,“
Kedidi langsung berteriak melihat segerombolan tikus berpesta pora.
“Lari…..Anak
tikus yang kemarin dimarah kedidi mengajak kawan-kawannya melarikan diri.
“Jangan takut!“ induk tikus
keluar dari persembunyiannya.
”Coba kalau berani kau
mengganggu anak-anakku…. Kau akan berhadapan denganku!” induk tikus mengancam
kedidi dengan mengacungkan sisa batang padi yang tak habis dimakannya.
“Coba Lihat ….Semua padi jadi
layu,” manusia pemilik lading ini pasti akan marah,” kata kedidi menunjuk
ladang yang tak berseri lagi.
“Jangan hanya bicara saja, ayo
kalau berani,” tantang induk tikus semakin berang.
“Tikus, bukannya aku takut, tak
ada gunanya kita bertarung toh yang kalah akan mati yang menang akan sengsara
karna akan dicari oleh saudara kita dan pasti akan bermusuhan sepanjang masa.”
Perkataan Kedidi membuat hati
tikus terenyuh. Di lepaskannya batang padi.
“Hai kedidi yang baik hati,
Alangkah benar perkataan mu, tak ada guna kita bertarung sampai mati,akan
semakin sengsara anak cucu kita nanti.”
Kedidi pun turun dari atas
batang padi dan merangkul Tikus. “Coba pikirkan lagi kalau semua batang padi
kamu makan, banyak manusia yang kelaparan dan keluarganya tidak dapat makan.
Saudara kita bangsa ayam, tak dapat makan padi,
bebek dak dapat makan sisa nasi, Ikan di sungai pun tak dapat menikmati
sisa makanan yang melekat di piring. Termasuk juga aku dan keluargaku,” Kedidi
menjelaskan semua akibat jika panen padi manusia gagal. Lalu ia terbang
meninggalkan Tikus yang perlahan melangkah sambil menundukkan kepalanya
menyesal.
Semenjak itu tikus sudah jarang mengganggu ladang.
Burung kedidi pun leluasa menari setiap pagi dan petang sambil menanti panen
tiba. Beberapa orang petani yang setiap hari memperhatikan gerak gerik burung
kedidi itu lalu menirukannya dan menjadikannya gerakan pencak silat yang hingga
kini di kenal oleh masyarakat Pulau
Bangka.
Sungailiat, Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar