KETUPAT LEPET
Saat
berkunjung untuk silahturahim dan saling berjabatan tangan antar warga, dari
satu tetangga ke tetangga lainnya. Dalam berjabatan tangan tentunya saling
mengucapkan memohon maaf dan saling memaafkan. Lebaran, di Bangka Belitung ini,
agak ramai karena para pedagang sudah mengadakan persiapan untuk
berjualan.Mungkin seluruh daerah yang mayortas masyaraktnya beragama islam dan
merayakan hari raya idul Fitri menyediakan makanan khas hari raya KETUPAT dan
LEPET begitu juga halnya masyarakat Bangka Belitung.hari raya dirasakan kurang
lengkap jika tidak menyediakan ketupat yaitu beras yang dimasukkan wadah yang
terbuat dari daun kelapa atau janur dirumahnya sebagai makanan pokok pengganti
nasi.Lauk pauknya pun disesuaikan dengan hidangan ketupat opor ayan rendang daging,semur
ditambah sambal asem. Biasanya gandengan ketupat adalah lepet, kalau lepet ini
terbuat dari beras ketan yang bungkus daun kelapa(janur) kalau ketupat daun
kelapa di anyam sedangkan lepet daun kelapanya hanya dilipat saja membungkus
ketan lalu di ikat dengan daun jelutuk atau pandan hutan.
Ketupat atau kupat adalah
hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasarberas yang dibungkus dengan
selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa(janur). memang sepertinya identik
dengan lebaran karena memang pada saat lebaran bayak yang membuat ketupat. Sejak kapan keberadaan ketupan sebagai
makanan khas lebaran pun hingga kini sulit di cari. Yang pasti tradisi ketupat
ini bukan berasal dari budaya Arab atau budaya yang ada di jaman
Rosulullah, ini adalah kebudayaan jawa.dan jika mungkin ada yang memaknai ini
sebuah bid'ah wajar saja, mungkin karena tidak paham dengan maknanya dan memang
tidak ada pada jaman Rosulullah.sedangkan
di Bangka Belitung mulainya masyarakat mengkonsumsi ketupat sebagai makanan
lebaran mungkin bermula dari penyebar agama Islam yang berasal dari tanah jawa.
Berawal
dari Tradisi Wali Songo.
Ketupat
atau tradisi Jawa-nya kupatan bukan hanya sebuah tradisi Lebaran dengan
menghidangkan ketupat, sejenis makanan atau beras yang dimasak dan dibungkus
daun janur berbentuk prisma maupun segi empat. Sebab, kupatan memiliki makna
dan filosofi yang mendalam.Dari sisi sejarah, tradisi kupatan berangkat dari
upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa
selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan
cara tersebut. Tradisi kupatan akhirnya menggunakan simbol janur atau daun
kelapa muda berwarna kuning,
Menurut
H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari
raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad
ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk
menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.
Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir
Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur
Dari
sisi bahasa, kupat berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan
dengan peristiwa Lebaran, kupat mengusung semangat saling memaafkan, semangat
taubat pada Allah, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai
dengan kesalahan di masa depan. ”Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak
dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan”. Dengan berpuasa
satu bulan penuh di bulan Ramadan, lalu Lebaran 1 syawal, dan dilanjutkan dengan
puasa sunnah enam hari syawal, maka orang-orang yang kuffat merasa cukup
ibadahnya. Apalagi, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslich bahwa ibadah
tersebut sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. Karena itulah, kuffat berarti
orang-orang yang merasa cukup. Terlebih, ditambah lagi dengan tradisi
silaturahim selama sepekan penuh pada kerabat dan masyarakat sekitar. Sehingga,
tradisi kupatan benar-benar dirasa lengkap.
Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau peristiwa menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah. Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. Harapan para Wali Songo dulu, tradisi kupatan ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat. Selain itu, biasanya kupatan dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan kupat miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding. Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan tradisi kupatan untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan himbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat dihati. Bagaimana dengan sandingan sayur kupat, apa mengandung makna tertentu juga? Tentu sayur pendamping kupat hanyalah selera lidah masyarakat, tidak ada makna khusus.
Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau peristiwa menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah. Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. Harapan para Wali Songo dulu, tradisi kupatan ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat. Selain itu, biasanya kupatan dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan kupat miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding. Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan tradisi kupatan untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan himbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat dihati. Bagaimana dengan sandingan sayur kupat, apa mengandung makna tertentu juga? Tentu sayur pendamping kupat hanyalah selera lidah masyarakat, tidak ada makna khusus.
Makna Tradisi
Kupatan
Tradisi
Kupatan penuh makna filosofis. Setidaknya ada tiga pemahaman arti yang
berkembang di masyarakat soal makanan berbahan baku beras dibungkus anyaman
janur tersebut. Semua makna itu menuju kepada sebuah peringatan ibadah yang
berhubungan dengan masyarakat. Termasuk sebuah bentuk zikir umat Islam Jawa
kepada Tuhan. Yang paling klasik adalah ketupat bermakna permintaan maaf. Kupat
akronim dari kulo lepat (saya salah). Orang Jawa menganggap sempurna puasa dan
lebarannya jika sudah kupatan, yakni mengakui kesalahan yang telah diperbuat
sebelumnya. Lalu meminta maaf kepada orang yang pernah disalahi. Caranya cukup
halus, yakni dengan menghantarkan kupat. Dari cara itu, ketupat sebagai simbol
kebesaran hati. Lepet akronim dari ditilep sing rapet (ditutup yang rapat),
setelah mengaku salah maka hal-hal yang tidak baik harus disimpan (ditutup)
rapat-rapat, jangan diungkap lagi.
Makna kedua yang juga berkembang di masyarakat adalah, ketupat atau kupat berasal dari bahasa asli tlupat. Lagi-lagi, tlupat adalah akronim (kependekan dari) telu dan papat. Di zaman Sunan Kalijaga, dimaknai rukun Islam ketiga (puasa) dan rukun Islam keempat (zakat). Kedua rukun Islam itu tidak boleh dipisah. Setelah puasa, wajib berzakat. Bungkus janur punya arti simbolis, yakni janur itu singkatan dari ” jan jane nur ” (sesungguhnya nur/cahaya ). Jadi, ketupat adalah media pengingat: Sudahkah Anda membayar zakat? Jika melaksanakan zakat dan puasa dengan benar maka akan mendapat nur (cahaya, hidayah) Allah.
Sementara,
makna ketiga kupat bermakna ”laku papat” (empat tindakan). Budaya menyediakan
hindangan ketupat pada tanggal satu syawal terkandung pesan agar seseorang
melakukan tindakan yang empat ”laku papat”, yaitu: lebaran, luberan, leburan
dan laburan.
Lebaran,
dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan bahwa satu syawal adalah
tanda selesainya menjalani puasa. Luberan, terkandung arti melimpah. Ibarat air
dalam tempayan, isinya melimpah sehingga tumpah ke bawah. Ini simbol yang
memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin, yaitu
sadaqoh dengan ikhlas seperti tumpahnya/lubernya air dari tempayan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam tradisi Islam, yaitu memberikan sadaqoh atau zakat
fitrah pada satu syawal. Leburan, seiring dengan pengertian ngaku ”lepat”,
yaitu saling mengaku berasal dan saling meminta maaf. Laburan, labur (kapur)
adalah bahan untuk memutihkan dinding. Dalam hal ini sebagai simbol yang
memberikan pesan untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin.
Setelah selesai menjalani puasa, menunaikan zakat dan sedekah, serta meminta
maaf kepada Tuhan dan masyarakat. Pentingkah budaya kupatan itu dipertahankan?
Hal tersebut sangat penting, meski kenyataannya makin pudar jumlah masyarakat
Jawa yang memahami makna ketupat.
Kupatan masih kental di pedesaan atau bagi orang kota yang mengetahui makna kupat secara filosofis Jawa. Tetapi di kota atau orang yang benar-benar dari kota tidak lagi memahami makna kupat. Bahkan yang ada adalah lontong kupat, kupat sayur, sate lontong/kupat, dan kupat-kupat lain yang sudah tidak bermakna lagi.
Arti
filosofi yang lain yaitu kupat adalah ngaku lepat, ketupat atau kupat berasal
dari bahasa asli tlupat. Tlupat adalah akronim (kependekan dari) telu dan
papat, dimaknai rukun Islam ketiga (puasa) dan rukun Islam keempat (zakat).
Kedua rukun Islam itu tidak boleh dipisah. Setelah puasa, wajib berzakat. Kupat
bermakna ”laku papat” (empat tindakan), agar seseorang melakukan tindakan yang
empat tersebut, yaitu: lebaran, luberan, leburan dan laburan. Lepet akronim
dari ditilep sing rapet (ditutup yang rapat), setelah mengaku salah maka
hal-hal yang tidak baik harus disimpan (ditutup) rapat-rapat, jangan diungkap
lagi.
Di berbagai daerah, hari raya ketupat (kupatan), biasanya dilakukan pada hari ke-8 setelah idul fitri. Tradisi ini sangat menarik, walaupun saat ini mulai hilang atau pudar. Akan tetapi, dibeberapada daerah tertentu, seperti Bangka Belitung sama, ternyata masih berlaku. Bahkan, tradis (kupatan) ini rutin dilaksanakan setiap tahun sekali. Biasanya, setiap rumah menyediakan ketupat, lontong, lepet, serta lengkap dengan opor ayam dan dibawa ke Masjid atau Musolla terdekat. Setelah sang Kyai berdo’a, maka menu yang terdiri dari ketupat, lontong, lepet, dan opor Ayam dimakan bersama-. Uniknya, menu itu dibagi secara acak. Begitulah tradisi kupatan yang berlangsung dari tahun-ketahun hingga sekarang.
Jadi, sebenarnya filsafat hari raya ketupat (kupatan) itu sebagai
bentuk perayaan (kemenangan) bagi mereka yang telah mampu melawan hawa nafsunya
pada bulan Ramadhan yang ditambah dengan 6 Syawwal. Sedangkan, mereka yang
melaksanakan puasa 6 Syawal, tetapi tidak tertib (urut) tetap diperbolehkan.
Sedangkan, mereka yang tidak melaksanakan puasa juga tidak apa-apa. Sebab,
hukum puasa 6 Syawwal itu sunnah. Artinya, yang melaksanakan itu memperoleh
pahala, sedangkan yang tidak mengikutinya juga tidak apa-apa.
Bagi yang telah melaksanakan puasa 6 Syawwal, semoga
mereka benar-benar melaksanakan puasa secara sempurna (كافة ). Perayaan hari raya kupatan itu untuk kalian,
sedang yang belum sempurna, semoga bisa melaksanakan, walaupun harus
meng-kredit setiap senin dan kamis. Semoga semua memperoleh balasan dari tuhan,
sesuai dengan amal perbuatannya.
Pada masyarakat selain Bangka belitung, setelah sholat Ied mungkin mereka melakukan aktivitas kegiatan seperti hari-hari biasanya. Masyarakat Bangka belitung, setelah sholat Ied, mereka biasanya melakukan kegiatan silaturahim ke sanak famili, saudara, tetangga dekat dan sekitar lingkungan mereka. Sehari setelah Hari Raya Idul Fitri atau lebaran, umumnya mereka melaksanakan puasa sunnah bulan Syawal. Puasa sunnah Syawal dilaksanakan sampai enam hari, setelah itu mereka mengadakan acara halal bihalal (ma’af mema’afkan) dan bersilaturahim dengan kerabat dekat maupun jauh.untuk menutup puasa Syawal dilakukan nganggung membawa makanan dari rumah ke masjid,setelah memanjatkan doa makanan disantap bersama, tidak hanya masyarakat desa tersebut banyak juga masyarakat dari desa lain.selain menyediakan ketupat lepet ada juga beberapa menyediakan dodol ketan.
Perbedaan sudah biasa terjadi tapi makna
dan maksud tetap sama seoga bacaan ini bermanfaat bagi kita.
Info : Berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar