MAKNA PROKLAMASI DI ERA GLOBALISASI
Pendahuluan
Bulan Agustus adalah bulan yang sangat
berarti bagi bangsa Indonesia. Setiap bulan ini bangsa Indonesia merayakan
sebuah peristiwa yang sangat bersejarah yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945, yaitu diProklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai hari ini
bangsa Indonesia telah menikmati alam kemerdekaan selama 67 tahun dan telah
mengisinya dengan berbagai aktifitas sebagaimana diamanatkan oleh pendiri
bangsa ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati jasa para pahlawannya, maka perhatian dan penghormatan pada para
pahlawan juga telah menjadi tradisi yang hidup pada bangsa besar Indonesia.
Bahkan dari waktu ke waktu lingkup kepahlawanan ini pun telah diperluas. Ada
pahlawan nasional, ada pahlawan kemerdekaan, ada pula pahlawan Revolusi.
Penghargaan kepada para pahlawan bukanlah dalam bentuk pengkultusan individu
tertentu, tetapi wujud rasa hormat kepada individu yang telah memperlihatkan
pengabdian, pengorbanan, serta jasa tanpa pamrih bagi kejayaan nusa dan bangsa
yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas pembangunan yang
didasari oleh semangat dan karakter kepahlawanan. Esensi dari karakter
kepahlawanan adalah kerelaan untuk berbuat sesuatu yang ditujukan untuk mencapai
cita-cita besar bangsanya diiringi dengan kesediaan untuk mempertaruhkan jiwa
dan raga.
Karakter
Bangsa Dan Mengisi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan RI yang
dikumandangkan ke seluruh dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah
produk dari sejumlah konstituen perjuangan yang sangat lengkap. Ada perjuangan
yang bersifat politis, yakni melalui pendirian sejumlah partai, ada perjuangan
yang bersifat konseptual yakni berbagai aktifitas intelektual yang melahirkan
berbagai konsepsi yang di kemudian hari menjadi ideologi bangsa dan ada pula
perjuangan yang bersifat fisik yaitu melalui berbagai konflik bersenjata yang
telah merenggut ribuan nyawa pahlawan kita. Kumpulan konstituen perjuangan itu
bersinergi dengan baik dan dengan kohesivitas yang tinggi, yang pada akhirnya
bermuara pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Harus diakui bahwa
pola sinergi dari berbagai konstituen yang beraneka ragam tersebut hanya dapat
dikonvergensikan melalui suatu kerja keras dari individu dan sekelompok
masyarakat dengan karakter dan semangat juang yang tinggi. Menterpadukan
berbagai konstituen perjuangan yang sangat kompleks tersebut untuk kemudian
menjadi sebuah produk yang koheren dan produktif, yaitu kemerdekaan bagi suatu
bangsa adalah sebuah upaya yang sangat luar biasa dan hanya mungkin dilakukan
oleh manusia-manusia dengan karakter unggul.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa
para pendiri bangsa ini adalah generasi manusia Indonesia dengan karakter
kepahlawanan yang unggul, yang sanggup merancang skenario masa depan bangsanya,
menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Gagasan
pembangunan karakter bangsa unggul telah ada semenjak diproklamirkannya
republik ini pada tanggal 17 Agustus 1945. Pimpinan nasional kita yang pertama
yakni Bung Karno telah pernah menyatakan perlunya nation and character
buildings. Walaupun pernyataan tersebut dalam konteks politik, namun secara
eksplisit mengandung arti bahwa pembangunan Indonesia tidak cukup hanya dengan
membangun fisik akan tetapi harus termasuk membangun karakter dan budaya
bangsa. Beberapa tokoh nasional bangsa ini seperti Ki Hadjar Dewantoro juga
menyebutkan tentang perlunya character building sebagai bagian integral
dari pembangunan bangsa.
Karakter suatu bangsa berperan besar
dalam mempertahankan eksistensi dan kemerdekaannya. Cukup banyak contoh empiris
yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai
tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress pembangunan. Contoh
pertama adalah Cina. Negeri ini bisa dikatakan tidak lebih makmur dibandingkan
dengan Indonesia di era ’70 an. Namun dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun,
dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakkan
mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya
negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrasinya secara substansial.
Sedangkan budaya kerja keras tampak nyata dari semangat rakyat di negeri ini
untuk bersedia bekerja selama 7 hari dalam seminggu demi mencapai keunggulan
dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi negara pengekspor
terbesar, akan tetapi bahkan lebih dari itu, produk ekspor Cina semakin banyak
yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Contoh lain adalah India. Negara ini
sekarang telah berhasil menjadi salah satu negara yang sanggup berswasembada
pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, maka mencapai posisi
kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi yang
membanggakan. Keberhasilan ini didorong oleh karakter kuat bangsa India untuk
maju dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan istilah budaya swadeshi.
Prinsip inilah yang telah membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di
Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana
seperti sabun mandi hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan
pesawat terbang dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya
rendah kalau dibandingkan dengan produk Jepang dan Barat akan tetapi semangat swadeshi
telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah.
Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India
nyaris tidak ada.
Karakter bangsa-bangsa besar lainnya
juga hampir sama. Intinya selalu ada kombinasi antara semangat juang, disiplin
dan kerja keras. Karakter bangsa Jerman misalnya, adalah ’arbeit’
atau kerja keras. Artinya bagi bangsa Jerman, sukses diperoleh melalui suatu
kerja keras dan tanpa lelah. ’Budaya instan’ tidak ada dalam kamus bangsa
Jerman. Dengan arbeit inilah bangsa Jerman, yang pernah kalah dalam dua
kali perang dunia, masih sanggup tampil kembali sebagai salah satu mesin
ekonomi dan teknologi terkuat, termaju dan termodern didunia.
Pembinaan
Karakter Bangsa Di Era Globalisasi
Makna kemerdekaan di era globalisasi
bukanlah berarti suatu kemandirian total. Hakekat kemerdekaan di era
globalisasi adalah suatu kapasitas yang mandiri yang dimiliki oleh suatu bangsa
dalam membina keterbukaan dengan bangsa-bangsa lain didunia, berdasarkan
prinsip saling melengkapi atau komplementasi, yang saling menguntungkan. Untuk
dapat menjalankan prinsip komplementasi yang saling menguntungkan tersebut,
maka suatu bangsa dituntut untuk memiliki daya saing atau competitiveness.
Parameter daya saing inilah yang selanjutnya berperan penting dalam menentukan
setiap dinamika kehidupan berbangsa.
Sejalan dengan hal itu, maka
kemandirian dan martabat suatu bangsa di era globalisasi akan sangat ditentukan
oleh kapasitas bangsa tersebut dalam membina dan mengembangkan suatu pranata
ekonomi dan sosial-politik yang menunjang peningkatan daya saing secara terus
menerus. Bangsa yang berhasil di era milenium ini adalah bangsa dengan
kapasitas daya saing tinggi, yang rakyatnya memiliki kapasitas berpikir yang
cerdas, kemampuan imajinasi dan kreasi yang tak terbatas dan mental yang robust
atau tahan banting. Bangsa dengan kualitas yang seperti itulah yang akan
sanggup berevolusi di era milenium ini dan di masa depan.
Sebaliknya tanpa adanya kapasitas daya
saing yang tinggi, maka bangsa tersebut tidak akan mampu memberikan
komplementasi yang berarti pada sistem sivilisasi global dan memberikan peran
pada sektor-sektor ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Bangsa yang demikian,
walaupun sarat dengan sumber daya alam akan tergusur dan hanya mampu
mengembangkan sektor ekonomi dengan nilai tambah rendah, lingkungan yang
semakin rusak dan secara budaya akan terjajah.
Tanpa adanya upaya dan komitmen bagi
suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya, maka kita sangat berisiko
menjadi bangsa yang termarginalkan di era kompetisi global. Lemahnya daya saing
suatu bangsa akan mengakibatkan rentannya kemandirian bangsa tersebut karena
akan terjebak pada dua perangkap globalisasi atau globalisation trap
yaitu perangkap teknologi atau technology trap dan perangkap budaya atau
culture trap. Kedua perangkap ini umumnya dengan cepat dapat dialami
oleh suatu bangsa dengan karakter yang lemah. Sebagai misal perangkap teknologi
akan menjebak sebuah bangsa untuk membangun industri yang hanya berbasiskan
pada lisensi atau re-alokasi pabrik tanpa adanya pembinaan kapabilitas
teknologi, sehingga bangsa tersebut, meskipun tampaknya dapat memfabrikasi
berbagai produk, namun esensinya proses fabrikasi itu sebenarnya hanya
dilakukan pada tahapan yang relatif tidak atau kurang penting. Adapun tahapan
dari proses yang lebih penting (atau sangat penting) dari proses fabrikasi
tersebut masih dikuasai oleh negara asing. Sehingga pada akhirnya bangsa yang
demikian aktifitas industrinya akan sangat bergantung dengan entitas asing.
Adapun perangkap budaya umumnya adalah
dalam bentuk intervensi tata nilai unsur-unsur asing kepada budaya lokal suatu
bangsa. Hal ini sangat dimungkinkan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi
dan telekomunikasi serta transportasi yang menjadikan interaksi antar manusia
menjadi semakin intensif. Teknologi komputer-jaringan atau internet saat ini
telah menjadikan transaksi informasi menjadi sangat mudah. Namun, terkadang
amalgamasi atau penggabungan antara tata nilai budaya yang berbeda malah
menghasilkan jenis budaya baru yang tidak relevan dengan adat istiadat dasar
dari bangsa tersebut. Bahkan sering akhirnya bersifat counter-productive
pada pembangunan bangsa yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia, misalnya
intervensi budaya hedonistik dan materialis berpotensi untuk melunturkan
nilai-nilai budaya dasar Indonesia yaitu kekeluargaan dan relijius.Kedua
perangkap yang diulas diatas, haruslah dijadikan sebagai tantangan yang perlu
diwaspadai dalam membangun bangsa di era global. Unsur yang sangat penting
dalam memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi kedua perangkap tersebut
adalah terus menumbuhkembangkan karakter unggul yang dimiliki oleh bangsa ini
dan telah dibuktikan aktualisasinya oleh para pendiri bangsa ketika
memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sekarang ini setelah 67 tahun merdeka,
harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai dinamika proses
transformasi karakter bangsa. Dalam kurun waktu tersebut telah cukup banyak
dicapai berbagai hasil pembangunan walaupun harus diakui masih banyak
kekurangan yang perlu ditingkatkan pencapaiannya khususnya terkait dengan
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.Bangsa kita saat ini dihadapkan pada
sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan karakter bangsa. Di satu pihak,
pembangunan bangsa ini telah mencatat sejumlah prestasi, seperti pertumbuhan
ekonomi yang membaik dan hampir mencapai target 6% di tahun 2007 ini, kuota
ekspor yang terus meningkat, cadangan devisa yang semakin besar dan jumlah
penduduk miskin juga telah semakin berkurang. Namun di pihak lain, kita masih
menghadapi sejumlah fenomena seperti kasus korupsi, saling memfitnah dalam
kehidupan bernegara dan sejumlah ekses lain yang tidak mencerminkan sifat-sifat
karakter unggul yang telah pernah dicontohkan olehpara pendiri bangsa ini
Oleh karena itu merombak tatanan suatu
bangsa di era globalisasi tidak cukup hanya dengan menjadikan masyarakat bangsa
tersebut berada dalam tatanan pola kehidupan demokratis yang menghilangkan
batas etnis, pluralitas budaya dan heterogenitas politik, akan tetapi di era knowledge
based economy dituntut adanya hal yang lebih dari itu, yakni suatu tatanan
masyarakat demokratis yang terus melakukan pembelajaran atau learning
society dalam upaya untuk mencapai suatu peningkatan kapasitas pengetahuan
yang kontinyu sehingga akan terbentuk suatu masyarakat madani yang berdaya
saing atau competitive civil society. Inilah bentuk masyarakat yang
mendukung untuk tercapainya kemandirian dan peningkatan martabat bangsa.
Makna kemerdekaan dari perspektif
pembinaan karakter bangsa adalah ketika suatu bangsa sanggup membentuk
masyarakat madani yang berdaya saing. Dan hal itu dapat dilakukan berdasarkan
pada dua prinsip. Prinsip yang pertama adalah mengutamakan pemberdayaan
karakter bangsa terutama kaum mudanya agar menjadi individu yang kreatif. Dan
prinsip yang kedua adalah menciptakan suatu tatanan pembangunan nasional yang
bersifat innovation-led development. Atau pembangunan yang berkarakter,
yaitu pembangunan yang tidak sekedar mengutamakan aspek fisik belaka, akan
tetapi juga menonjolkan aspek pembentukan tata nilai atau value creating
sehingga akan memacu terjadinya stimulasi pembentukan karakter yang positif.
Mekanisme Institusional dan Pembinaan
Karakter Bangsa
Salah satu contoh dimana bangsa ini
masih memiliki karakter unggul adalah kenyataan bahwa sejumlah anak-anak didik
kita meraih prestasi gemilang dengan menjadi juara dunia olimpiade fisika.
Sebuah prestasi yang secara implisit memberikan arti penting bahwasanya bangsa
Indonesia juga memiliki kemampuan pola pikir logic yang unggul dan
setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Catatan prestasi ini juga bukti
empiris bahwasanya masih ada komponen bangsa yang tidak malas dan memiliki
karakter kerja keras serta sikap bersaing untuk selalu menjadi yang terbaik di
era kompetisi inovasi global atau global innovation race. Anak-anak muda
kita yang berprestasi ini jelas merupakan produk institusional bidang
pendidikan. Sehingga menjadi jelas bagi kita, bahwasanya untuk pembangunan
karakter bangsa maka mekanisme institusional memiliki peran yang sangat
penting.
Tanpa adanya mekanisme institusional
yang kuat, maka akan berpotensi untuk gagalnya suatu induksi positif dari
karakter bangsa yang baik, kepada kanal-kanal komponen bangsa lainnya, sehingga
karakter positif tersebut tidak dapat di transmisikan ke seluruh denyut
pembangunan.Apabila kelemahan mekanisme institusional ini dibiarkan maka akan
mengakibatkan erosi dari karakter positif bangsa menuju pada tata nilai yang
tidak membangun atau counter-productive. Misalnya, lemahnya mekanisme
institusional pada pembangunan karakter bangsa akan mempersulit adanya induksi
mentalitas bersaing dari para juara olimpiade fisika kepada komponen bangsa
lainnya, sehingga para juara olimpiade fisika ini malah mengalami reduksi
kapasitas pengetahuan ketika berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya.
Pendidikan sebagai mekanisme
institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa juga berfungsi
sebagai arena untuk mencapai tiga hal prinsipil dalam pembinaan karakter bangsa
yaitu:
Hal pertama adalah pendidikan sebagai
arena untuk re-aktifasi sejumlah karakter luhur bangsa Indonesia. Secara
historis bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki karakter
kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras serta berani
menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti
keberhasilan kita membangun karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju,
berbudaya dan berpengaruh.Bahkan sampai di era ’40-an dan ’50-an kita
pernah bangga menjadi bangsa Indonesia. Dunia mencatat, bahwa di akhir tahun
’40-an, Indonesia adalah salah sat u dari sedikit negara yang merdeka dengan
perjuangan berat. Kemudian di tahun ’50-an kita pernah bangga sebagai bangsa
yang menjadi pusat perhatian dunia ketika kita menyelenggarakan Konferensi Asia
Afrika di Bandung. Sampai dengan tahun ’70-an dunia pendidikan tinggi kita
masih bisa berbangga, karena menjadi tempat berguru dari sejumlah mahasiswa dan
kaum intelektual mancanegara. Memang kita tidak boleh terlena dengan kejayaan
masa lampau, akan tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk peningkatan
motivasi dan semangat dalam menapak masa depan merupakan satu hal yang
diperlukan dalam rangka memupuk mentalitas positif yang harus kita perjuangkan
untuk dapat dibangkitkan kembali.
Hal kedua adalah pendidikan sebagai
sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi
pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk peningkatan daya
saing bangsa. Untuk yang kedua ini maka perkenankan saya menyampaikan dua
karakter penting yakni karakter kompetitif dan karakter inovatif.Karakter
kompetitif memiliki esensi sebuah mentalitas dan watak yang mendorong adanya
semangat belajar yang tinggi. Pembudayaan karakter ini akan mendorong minat
untuk terus melakukan pembelajaran dalam memahami sekaligus mengatasi persoalan
yang dihadapi. Karakter kompetitif adalah antagonis atau lawan dari ’budaya
instan’, karena karakter kompetitif akan mendorong adanya upaya perbaikan
secara terus menerus dan bertahap ketika menghadapi persaingan yang semakin
berat. Dalam kenyataannya, hanya dengan karakter kompetitiflah suatu bangsa
dapat mempertahankan keunggulan daya saingnya. Bahkan di era knowledge based
economy, dengan karakter kompetitiflah, suatu bangsa mempertahankan
eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka. Karakter inovatif adalah
watak dan mentalitas yang selalu mendorong individu dalam melakukan
inovasi-inovasi baru pada berbagai hal. Pada hakekatnya inovasi hanya dapat
diciptakan setelah melalui serangkaian proses belajar secara kolektif, atau
lazim dikenal dengan learning curve. Bangsa yang maju dan modern
memiliki sejumlah learning curve yang dapat menjadi dasar bagi tumbuh
dan berkembangnya proses inovasi. Mentalitas inovasi tidak lepas dari proses
belajar, termasuk belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalu.
Hal ketiga adalah pendidikan sebagai
sarana untuk menginternalisasikan kedua aspek diatas yakni re-aktifasi sukses
budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap
sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pembangunan. Internalisasi ini harus
berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.
Maka membangun karakter bangsa untuk
mencapai kemandirian, harus diarahkan pada perbaikan dan penyempurnaan
mekanisme institusional. Untuk melakukan penyempurnaan mekanisme institusional
ini, maka pemerintah telah memberikan perhatian besar dalam pengembangan dunia
pendidikan nasional. Pendidikan yang baik dan produktif merupakan sarana paling
efektif untuk membina dan menumbuhkembangkan karakter bangsa yang positif. Di
samping juga peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat
kesejahteraan masyarakat, yang dapat mengantarkan bangsa kita mencapai
kemakmuran.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai agenda penting dalam
pembangunan nasional, sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja
pemerintah. Komitmen pemerintah ini ditunjukkan dengan alokasi anggaran yang
cukup besar untuk pembangunan sektor pendidikan. Untuk meningkatkan partisipasi
pendidikan, pemerintah terus melanjutkan penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, antara lain melalui penyediaan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar. Penyaluran dana BOS tiap
tahun terus meningkat hingga triliunan. Ditambah pula dengan program didaerah
yang mendukung program nasional.Untuk mendukung program peningkatan akses dan
perluasan pemerataan pendidikan, pemerintah terus melanjutkan penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan yang diprioritaskan untuk wilayah pedesaan dan
terpencil, yang ditempuh antara lain melalui pembangunan SD-SMP Satu Atap dan
Pembangunan unit sekolah baru. Selain itu, pemerintah berupaya untuk
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pendidik melalui: peningkatan
kualifikasi akademik bagi guru untuk mengikuti pendidikan sarjana (S1) atau
Diploma-4 serta sertifikasi untuk guru serta penyediaan berbagai tunjangan guru
sebagaimana diamanatkan dalam UU NO. 14 Tahun 2005 tentang Guru, Dosen dan
Tenaga Pengajar pada umumnya.
Seluruh aktifitas di atas, ditujukan
untuk menyempurnakan mekanisme instusional nasional dalam mengakselerasi
pembinaan karakter bangsa yang positif yang akan memacu tercapainya bangsa yang
mandiri dan bermartabat.
Segala upaya yang dilakukan pemerintah
tentu harus mendapat dukungan dari masyarakat sebagai pengguna dana dan
pasilitas yang sudah disediakan.Kesadaran akan pentingnya pendidikan diharapkan
semakin meningkat dimasyarakat sehingga program buta aksara tidak hanya sukses
diatas kertas saja.Dan dari kalangan dunia pendidikan tentu harus bekerja keras
menyesuaikan dana dan pasilitas tersebut dengan melahirkan generasi bangsa yang
berkwalitas.
Penutup
Kemerdekaan adalah proses pembebasan
politik dari penjajahan asing. Pascakemerdekaan adalah masa berlanjutnya proses
pembebasan sosial masyarakat dari kemiskinan, ketakpedulian, kebodohan, ketergantungan,
dan berbagai bentuk kendala yang membatasi masyarakat dalam berinovasi,
mengembangkan pilihan-pilihan sah, dan dalam menghadapi masa depan.
Hal di atas menuntut adanya perjuangan
dan kerja keras yang dijiwai oleh karakter unggul. Pengembangan karakter unggul
sebuah bangsa adalah kombinasi positif dari berbagai upaya yang difasilitasi
oleh suatu mekanisme institusional yang baik. Aktualisasi dari mekanisme
institusional adalah memajukan dunia pendidikan, khususnya yang diarahkan pada
pembinaan karakter bangsa. Pemerintah dalam kaitan ini telah memberikan
komitmennya yang besar untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Pembangunan
pendidikan akan dilakukan secara seimbang yaitu dengan tetap mempertahankan
aspek positif yang telah ada dan ditambahkan dengan yang baru, selanjutnya
disinergikan dengan dinamika dan tuntutan global, khususnya dalam meningkatkan
daya saing.
Memaknai kemerdekaan dari perspektif
pembinaan karakter bangsa mengandung arti bahwasanya karakter bangsa tidak saja
menentukan kemampuan sebuah bangsa untuk hidup mandiri, akan tetapi lebih dari
itu, karakter bangsa bahkan menentukan jalan hidup dan nasib bangsa tersebut.
Mengisi pembangunan pasca kemerdekaan
adalah hak dan kewajiban setiap masyarakat dengan semaksimal mungkin memberdayakan
diri untuk kemajuan miniman kemajuan bagi diri sendiri berdasarkan biang yang
dikuasai tidak dengan memaksakan diri pada dunia lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar