SELIKUR
DAN SUASANA RAMADHAN (DULU)
Salah
satu budaya di Bangka Belitung yang masih meninggalkan kesan adalah SELIKUR.
yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan ini (biasa dimulai pada malam ke 21
puasa ramadhan hingga malam takbiran) sangat unik sekali. Pada kebiasaan lama
masyarakat Bangka Belitung, budaya selikur di tandai dengan dipasangnya lampu
sulur (lampu minyak tanah / tradisional) pada halaman depan rumah masing-masing
warga. Sehingga suasana malam hari menjadi meriah dengan deretan lampu-lampu,
yang sangat indah bila di pandang mata. Lampu-lampu itu dibuat secara
tradisional baik dari bambu (yang dilubangi, dikasih sumbu dan minyak tanah),
bekas botol, kaleng, dan berbagai media lain.ada juga yang cukup menarik,
sebelum bulan Ramadhan masyarakat sengaja mengumpulkan batok kelapa (dulu
masyarakat mengambilsantan kelapa dengan memgukur isi/daging buahnya) untuk
persiapan selikur. batok/tempurung kelapa disusun hingga setinggi mungkin
(merasa bangga kalau tempurungnya paling tinggi) sebagai tiang penyanggah
digunakan kayu ditengahnya.. setelah tinggi dan malam selikur tiba barulah
tempurung kelapa tadi di bakar dari yang paling bawah. Pijar api yang keluar
dari tempurung akan tetap terjaga sampai kepagi.lalu arang tempurung nyapun
masih dapat digunakan untuk keperluan
lain.
Budaya
SELIKUR biasanya dibarengi dengan main BEDIL (meriam bambu) yang
dimulai setelah maghrib tiba (buka puasa). Meriam bambu yang di buat masa itu
sangatlah istimewa, karena anak-anak itu senantiasa mencari bahan dari pohon
Bambu yang berkualitas bagus. Intinya sejauh apapun letak lokasi kebun bambu
itu, senantiasa mencarinya. Biasanya bambu yang menjadi favorit masa itu
memiliki kulit yang tebal dan diameter yang besar. Sehingga menghasilkan bunyi
dentuman yang keras dan bagus serta tidak mudah pecah.selain itu ada juga yang
memainkan meriam/bedil karbit. Bedil karbit lebih sederhana pembuatannya hanya
memanfaatkan kaleng bekas yang dilogangi bagian bawahnya dan cangkang kerang
atau tutup botol sebagai tempat karbit yang ditetesi air.selikur dan bedil
biasanya dilakukan oleh anak laki-laki.Sisa potongan bambo yang dibuat bedil
digunakan untuk kentongan mungkin alat ini sudah me nasional biasanya
digelantungkan di posronda atau poskamling.kentongan ini digunakan untuk
membangunkan warga untuk sahur. Supaya lebih seru ukuran kentongan dibedakan
supaya menghasilkan bunyi yangh berbeda.(wuiiih pasti seru……. Tapi ada juga loh
yang meneriaki anak2 “ … Biseng.. jang ..kami lah bangun lah …)
Bersamaan
masa SELIKUR dimulai juga diwarnai ajang JUAL BELI KUE.TANAH
biasanya kegiatan anak perempuan sambil menunggu buka puasa. maksudnya kue –
kue mainan yang dibuat dari tanah lempungu / liat dan kemudian di bentuk
sedemikian rupa. Kue tanah itu dibakar, istilah masa kecil yang di oven seperti
halnya ibu-ibu membuat kue. Beragam bentuk kue tanah menghasilkan keasyikan dan
kebanggaan tersendiri. Nah, kue-kue itu biasa di gelar dengan karung bekas di
pinggir jalanan depan rumah untuk di jual.
Masa itu, uang yang digunakan untuk jual beli kue terdiri dari plastik pembungkus permen. Nah, warna merah artinya uang 1 ribu, hijau 5 ribu dan biru 10 ribu. Tak jarang kue-kue itu dijajakan berkeliling dengan menggunakan mobil-mobilan dari kayu. Walhasil suasana kian rame,jadi kangen masa kecil. Tapi itu bagi anak perempuan yang masih kecil kalau yang sudah duduk di kelas 4 SD keatas sudah bermain buah saga merah. Atau main rujak … dengan bekas alat tutup botol. (kalau cara mainnya entar2 aja ya)
Masa itu, uang yang digunakan untuk jual beli kue terdiri dari plastik pembungkus permen. Nah, warna merah artinya uang 1 ribu, hijau 5 ribu dan biru 10 ribu. Tak jarang kue-kue itu dijajakan berkeliling dengan menggunakan mobil-mobilan dari kayu. Walhasil suasana kian rame,jadi kangen masa kecil. Tapi itu bagi anak perempuan yang masih kecil kalau yang sudah duduk di kelas 4 SD keatas sudah bermain buah saga merah. Atau main rujak … dengan bekas alat tutup botol. (kalau cara mainnya entar2 aja ya)
.Sayang budaya SELIKUR dan kebiasaan anak masa
lalu seperti itu kini telah hilang. Keberadaan lampu minyak tanah beberapa
tahun lalu diganti dengan lampu kelap kelip (lampu neon berukuran kecil).
Namun, BEDIL dan ajang JUAL BELI KUE TANAH dan yang lain itu memudar dan tak
pernah lagi ditampakkan anak-anak masa kini. Permainan modern benar-benar telah
menggeser beragam bentuk permainan tradisional seperti itu.anak sekarang lebih
kenal dengan petasan, gemeboat, atau “bende item laen e yeng dipijit-pijit to”
kembali tentang selikur Ok …
Tradisi malam
selikuran adalah tradisi budaya sekaligus religius yang penuh makna. Tentunya
hal ini sangat istimewa, karena anda dapat menyaksikan bagaimana antara budaya
dan religi saling bersatu dan menguatkan. Bagi anda penyuka kajian agama dan
budaya, tentu tidak akan mau ketinggalan peristiwa ini .Dalam
menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masyarakat berlomba-lomba
mendapatkan malam kemuliaan (malam Lailatul Qadar), yang dalam al Qur'an
disebutkan sebagai malam seribu bulan. Diantara cara untuk mengharap berkah
dari turunnya Lailatul Qadar tersebut, masyarakat Jawa biasanya mengadakan
sebuah kegiatan dengan mekukan malam "Likuran" (tradisi Selikuran).
Merupakan salah satu tradisi luhur yang diwariskan dan tetap lestari hingga
kini, seperti di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan masyarakat
pedesaan Jawa lainnya.
Tradisi Selikuran
berasal dari bahasa Jawa yakni Selikur (sebutan bilangan 21), yang maknanya
kurang lebih "Sing Linuwih le Tafakur", sedang Tafakur artinya orang
yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan begitu dalam melakukan ibadah
puasa Ramadan kita benar-benar khusuk dan berkualitas, baik dengan memperbanyak
sedekah, I'ktikaf di masjid, tadarus Alquran, dan lain-lain. Semua amalan itu
merupakan upaya dalam memeroleh kemuliaan yang ada dalam Lailatul Qodar, sebab
malam kemuliaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan kesiapan rohani yang
bersih juga suci.Tradisi ini sesungguhnya sudah lama muncul seiring dengan masuknya
Islam ke Pulau Jawa, yang dilakukan para Wali Songo dalam dakwahnya dengan
menggunakan pendekatan budaya, yaitu menggunakan budaya Jawa untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam. Dalam Bauwarna Adat Tata Cara Jawa karya Bratasiswara
menyebutkan, Selikuran merupakan upacara adat peringatan Nuzulul Quran dalam
maleman Sriwedari Surakarta yang digelar setiap tanggal 21 Ramadan. Ritual ini
diilhami dari Serat Ambya yang menyebutkan tiap tanggal gasal (ganjil) dimulai
sejak 21 Ramadan Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur, yaitu setelah
menerima ayat-ayat suci Alquran (wahyu).
Terkait prosesi
Selikuran di Keraton Surakarta, dilaksanakan dengan cara arak-arakan para ulama
keraton, sentana dalem maupun abdi dalem yang membawa sesaji dari keraton ke
Taman Sriwedari. Para ulama melantunkan salawat dengan iringan rebana.
Sedangkan para abdi dalem Keraton membawa ting atau lampion warna-warni,
meneriakkan ungkapan simbolik tong-tong-hik yang bermakna seruan kebaikan,
disamping juga mendoakan keselamatan dan keberkahan untuk Raja dan Keraton itu
sendiri.
Selikuran dalam
perspektif Islam adalah berawal dari Rasulullah Saw yang beri’tikaf di sepuluh
hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, "carilah malam Lailatul
Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan
Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab
sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah
kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut”
(Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi
Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui
budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam
pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.
Seiring
perjalanannya, banyak warna dan bentuk pelaksanaan malam selikuran ini,
misalnya upacara malam Selikuran yang dilaksanakan masyarakat pedesaan yang
akrab dengan adat Jawa, yaitu masyarakat desa melaksanakan ritual kenduri di
rumah setiap keluarga. Kenduri dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang disebut
Rasulan, diadakan pada setiap malam tanggal ganjil, yaitu tanggal 21, 23, 25,
27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan). Tempat kenduri pun bergantian dari satu
keluarga ke keluarga lain dan berlangsung dalam lima putaran sampai habis
tanggal ganjil (Pikiran Rakyat, 2007).Ada juga pada acara selikuran dengan
menyalakan lampu lampion (ting) dengan warna-warni disetiap rumah dan
jalan-jalan. Disamping itu, tradisi jaburan juga mewarnai di dalamnya, yaitu
upaya menyediakan konsumsi bagi acara likuran dengan cara gotong royong sistem
giliran, dengan kuantitas dan kualitas jaburan seikhlasnya. Ada juga acara
khataman, yaitu sebuah acara do'a bersama sebagai tanda selesainya membaca
Alquran. Dan masih banyak lagi acara-acara yang dilakukan pada malam selikuran
ini. Tentunya semua kegiatan tersebut sebagai upaya memperbanyak peribadatan
kepada Allah dan penyucian diri.
Fase setelah masuk pada tahap sepuluh hari terakhir Ramadan (disebut malam kemuliaan), dalam tradisi Islam dipercaya bahwa siapa saja yang dapat meraih malam tersebut, akan mendapatkan kemuliaan yang sangat luar biasa dalam kehidupannya kedepan, sebagai pengalaman spiritual untuk bekal hidup di dunia dan akhirat, penuh dengan keselamatan dan kebahagiaan, juga dibebaskannya dari api neraka.
Sehingga wajar ketika pada malam selikuran umat Islam
tidak terkecuali masyarakat Islam Jawa mengadakan berbagai tradisi untuk
menyambut datangnya malam kemuliaan, dengan penuh keseriusan dan keikhlasan.
Zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa memang membawa pengaruh besar terhadap
segala aspek kehidupan masyarakat, terutama dengan dimulainya proses peralihan
kepercayaan dari Hindu-Buddha ke Islam. Akhirnya hingga kini, konsep sinkretisme
Islam Jawa masih terpancar kuat di dalam setiap ritual budaya masyarakat Jawa,
termasuk tradisi selikuran sebagai kegiatan untuk menggapai malam kemuliaan
yang penuh barokah dan kebaikan, yang dinilainya sama dengan ibadah seribu
bulan.
Bagaimanapun Rasulullah SAW menganjurkan kita melaksanakan persiapan meraih Lailatul Qadar tersebut melalui sabdanya, "Barangsiapa berpuasa karena keimanan kepada Allah, dan melakukan perhitungan kepada diri sendiri (muhasabah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". Muhasabah adalah sikap mau mengoreksi serta menghitung amal perbuatan diri sendiri. Adapun fadilah (keutamaan) dari Lailatul Qadar antara lain Nabi Saw bersabda, "Barang siapa yang melaksanakan shalat tarawih pada malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharap rida Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu". (Al-Bukhari). Dan Nabi Saw. Bersabda pula, "Apabila datang Lailatul Qadar, Malaikat Jibril bersama Malaikat lainnya turun ke bumi mendoakan kepada setiap hamba yang berzikir dan berdoa kepada Allah Swt, Allah menyatakan kepada para Malaikat bahwa Allah akan memenuhi segala doanya. Itulah mengapa malam kemuliaan tersebut sangat dinanti-nantikan dan begitu didambakan oleh semua orang Islam
Bagaimanapun Rasulullah SAW menganjurkan kita melaksanakan persiapan meraih Lailatul Qadar tersebut melalui sabdanya, "Barangsiapa berpuasa karena keimanan kepada Allah, dan melakukan perhitungan kepada diri sendiri (muhasabah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". Muhasabah adalah sikap mau mengoreksi serta menghitung amal perbuatan diri sendiri. Adapun fadilah (keutamaan) dari Lailatul Qadar antara lain Nabi Saw bersabda, "Barang siapa yang melaksanakan shalat tarawih pada malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharap rida Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu". (Al-Bukhari). Dan Nabi Saw. Bersabda pula, "Apabila datang Lailatul Qadar, Malaikat Jibril bersama Malaikat lainnya turun ke bumi mendoakan kepada setiap hamba yang berzikir dan berdoa kepada Allah Swt, Allah menyatakan kepada para Malaikat bahwa Allah akan memenuhi segala doanya. Itulah mengapa malam kemuliaan tersebut sangat dinanti-nantikan dan begitu didambakan oleh semua orang Islam
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa malam kemuliaan
hanya dapat diraih oleh manusia-manusia yang benar-benar bersih jiwanya,
Sehingga orang Islam disepuluh hari terakhir Ramadan ini terus berupaya dan
berusaha lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah Swt, yakni dengan melakukan
amalan-amalan sholeh, terutama pada malam selikuran Ramadan yang dipercaya
sebagai waktu turunnya cahaya malam kemuliaan (Lailat al-Qadar).Namun ada juga daerah
yang kembali melestarikan budaya selikur ini menjadi even tahunan agar kegiatan
ini kembali dikenal oleh masyarakat . Dalam Event ini bentuk likur sudah
berpariasi ada yang seperti lampion cina dan lain sebagainya.suasana malam
ramadhan sangat indah warna warni dan bentuk lampu Selain keindahan yang terlihat, yang patut
untuk kita tiru adalah semangat kegotong-royongan dalam proses pembuatan bedil
likur ini mulai dari mengumpulkan botol
bekas, membuat lampu tersebut, kreatifitas peserta, serta kerja sama dan
kekompakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar