sekilas bangka belitung
oleh Jaka Filyamma pada 24 Februari 2010 pukul 3:54 ·
Kebudayaan
yang tumbuh di Bangka Belitung erat kaitannya dengan dominasi Islam
yang diterima dalam masyarakatnya sebagai aturan hukum wajib agama namun
tradisi kepercayaan yang melebur pada sistem kepercayaan masyarakatnya
masih cukup kental yang berlaku pada penduduk-penduduk perkampungan,
suku-suku, serta etnik yang masuk setelah masa kolonial Belanda yaitu
Etnik China.
Hukum adat yang mesti dieksekusi oleh raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahannya sudah tiada. Hukum yang adat yang berlaku sesudahnya adalah hukum yang masih di jalankan oleh pemangku yang ada di bawahnya. Hukum adat yang ada di bawah raja yaitu yang ada pada masyarakat adatnya; misalnya sesepuh turunan raja, kepala kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya ada di bawah para penghulu dan dukun kampung serta sedangkan wewenang tentang perihal tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin, dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di berbagai spesifikasi lainnya.
Raja, kepala suku yang menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk karakter masyarakatnya yang di kemudian disebut adat masyarakat. Karakter itu akan tercermin dalam sikap masyarakat wilayah tersebut. Misalnya salah satu contoh ketika Cakraninggrat III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung, memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang asing akan menikahi gadis wilayah itu, harus membayar sejumlah uang kepada ngabehi, serta tak boleh membawa pulang perempuan yang dinikahi tersebut, si lelaki mesti tinggal di wilayah kekuasaan hukum raja.
Dampak tersebut setelah raja dan ngabehi tidak lagi memberlakukan hukum tersebut maka kini terserap dalam tradisi "berebut lawang" di mana penganten laki-laki mesti membayar pada penjaga pintu atau lawang di rumah mempelai perempuan.
Berbagai upaya masyarakat untuk membuat hukum tetukun tersebut menjadi mantap di masanya; secara sikap sosial tentu saja masyarakat setempat mesti terbuka dan memiliki toleransi yang tinggi, hingga setiap orang asing yang menikahi gadis Belitung di masa itu akan betah karena sikap masyarakat yang positif itu. Bagaimana jika ada usaha untuk hanya sekedar menikahi misalnya, tentu saja peran mistik dari dukun menjadi berperan hingga muncul asumsi jika sudah terminum air setempat maka orang tersebut akan betah! Dan kesan yang muncul kemudian adalah asumsi; Jika orang asing sudah menikahi gadis Belitung maka ia takkan bisa pulang lagi ke negeri asalnya.
Belum lagi hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya yang membentuk karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati hak-hak antar warganya. Misalnya jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya adalah di gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka dihukum menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya wajib mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar akan menjadi budak raja.
Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.
Hukum-hukum yang mengatur tentang pemanfaatan tanah dan hutan adatnya juga diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat adat tersebut menjadi bijak menggunakan kekayaan alamnya. Hanya orang-orang yang tak tahu adatlah kemudian banyak melanggar sistem yang telah terbentuk dalam masyarakat adat tersebut.
Kelemahan hukum adat Bangka Belitung pada dasarnya tidak pernah diundangkan secara tertulis baik oleh raja, depati, batin, atau pun kepala suku karena masyarakatnya begitu patuh dengan pemimpin mereka. Norma yang tak tertulis itu menjadi titik lemah dalam perkembangan tradisisinya karena kebudayaan selalu bergeser dinamis sehingga pendatang atau yang bukan penduduk asli menjadi ogah untuk menaati hukum adat setempat.
Keunggulan dari norma atau hukum adat yang tak tertulis itu adalah loyalitas dan kebersamaan tetap terjaga pada lingkungan masyarakat adatnya. Ia dengan sendirinya membentuk karakter masyarakatnya menjadi masyarakat yang homogen. Otonomi raja yang pernah mempersatukan masyarakatnya dalam satu simbol kekuasaan akan mencerminkan watak atau karakter tersebut, misalnya pada masyarakat pulau Belitung, mereka homogen dalam bahasa, agama, dan adat istiadat. Suku-suku lain dari komunitas yang lebih kecil pun kebanyakan sudah melebur dalam sistem tersebut. Misalnya Suku Sekak sudah banyak yang masuk Islam, serta menguasai bahasa setempat, meski tradisi kepercayaan mereka tak mungkin mereka hilangkan.
Adat atau norma yang dieksekusi oleh Kepala Kampung dan para kepala suku, itu menyangkut tentang semua aturan setempat yang kini lebih dikenal dengan sebutan kearifan lokal adalah aturan yang sudah berlaku secara turun-temurun. Aturan tersebut kemudian dipertegas secara kepercayaan oleh para dukun dan secara agama oleh penghulu atau lebai kampung. Kearifan lokal yang berkaitan dengan alam sebagai sumber kehidupan yang kemudian mentradisi secara ritual berkaitan dengan kepercayaan diakumulasikan dalam acara ritual misalnya seperti; Buang Jong pada suku Sekak, Nuju Jeramik pada suku Urang Lom, Maras Taon di tradisi Urang Belitong.
Kearifan lokal sehari-hari yang dipatuhi masyarakat, implementasinya begitu sederhana dan mudah untuk diterapkan misalnya berkaitan dengan hutan; jangan menebang kayu dimasa pohon sedang berpucuk; jangan menebang pohon di hutan hulu sungai atau hutan mata air; jangan membuka dan membakar hutan tanpa ada petunjuk dari dukun kampong dan dukun api, dan lainnya. Di bidang perburuan hewan misalnya; jangan berburu di musim bulan terang, jangan membunuh hewan yang lagi bunting, dan lainnya.
Bagaimana hubungan antar manusianya? Adat tradisi yang berkaitan ritualitas pernikahan, di Bangka Belitung memiliki eksotika tersendiri misalnya tradisi prosesi melamar, prosesi seremonial pernikahan, prosesi pesta pernikahan, Belitung terkenal dengan istilah Begawai yang prosesinya melibatkan perangkat penghulu hingga personil perangkat kerjanya yang dilaksanakan secara sistematis dan unik hingga kini. Di Bangka di kenal juga adanya tradisi Kawin Massal dengan prosesi kebersamaan adat sepintu sedulangnya.
Wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung telah membentuk kesatuan adat tersendiri, ia tak lekang oleh zaman karena sudah melebur ke dalam karakter masyarakatnya. Namun perubahan arus budaya barat dari Belanda dan budaya timur dari China yang mulai masuk sejak eksploitasi timah di kedua wilayah Bangka belitung cukup berpengaruh di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi maka akulturasi dan inkulturasi pun tak terelakan.
Karakter masyarakat pekerja timah pada perusahaan timah cenderung menjadi peodal pada masa-masa permulaan. Gejala ini muncul ketika Belanda memberlakukan pengkotakan, sistem levelitas pada pekerja di maskapainya. Ini muncul di Belitung; misalnya level jabatan karyawan tertentu akan mendapat keistimewaan dan pasilitas kesejahteraan tertentu pula. Tak aneh jika dikemudian muncul sikap yang merendahkan level yang terbawah, namun tak aneh pula jika level terbawah ini jika status sosial mereka terdongkrak akan bersikap angkuh dan sombong!
Pulau Bangka yang masyarakatnya lebih plural, hampir tak mengenal sistem peodal karena Kolonial Belanda merasa kesulitan menguasai karakter pada masyarakat yang tidak homogen. Kecuali perlakuan khusus pada penguasa orang-orang China, misalnya pemberian kekuasaan pada orang China yang kooperatif seperti diberikan pada Kapiten China. Ini memungkinkan untuk balance of power karena sebelumnya orang-orang China pekerja parit timah telah mengadakan pemberontakan yang dipimpin oleh Liu Ngie tahun 1842-1900. Di Belitung hampir tak ada pemberontakan dari komunitas etnik China ini, kapiten China yang mengepalai komunitas China di Tanjung Pandan pada masa itu adalah Ho A Jun.
Pengaruh pemberontakan ditingkat bawah itu, membuat orang-orang China pada strata kuli ini memiliki rasa kebersamaan nasib hingga hubungan sosial dengan masyarakat asli menjadi akrab maka tak aneh jika keturunan etnik China di Bangka, ada yang tak bisa lagi menggunakan bahasa ibunya. Perkawian campuran, dan eknik China yang masuk Islam sudah bukan hal baru.
Akulturasi di salah satu identitas budaya Bangka; kelengkapan pakaian adat pengantin adat Bangka yang disebut dengan Paksian ada dipengaruhi oleh budaya China terutama pada warna serta simbol-simbol mahkota pengantin perempuan yang disebut dengan Paksian. Sedangkan pada identitas budaya lainnya seperti kesenian; sastra pantun yang erat kaitannya dengan bahasa melayu, ia masih tetap eksis. Pada tarian terjadi akulturasi dari China, Arab dan Melayu. Musik tradisional gambus pengaruh Persianya sangat kental. Kesenian asli yang tak terpengaruh adalah kesenian campak Suku Sekak atau Suku Laut, tapi kesenian asli ini kurang nampak mendapat perhatian hingga kemungkinan akan lenyap begitu saja.
Hukum adat yang mesti dieksekusi oleh raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahannya sudah tiada. Hukum yang adat yang berlaku sesudahnya adalah hukum yang masih di jalankan oleh pemangku yang ada di bawahnya. Hukum adat yang ada di bawah raja yaitu yang ada pada masyarakat adatnya; misalnya sesepuh turunan raja, kepala kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya ada di bawah para penghulu dan dukun kampung serta sedangkan wewenang tentang perihal tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin, dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di berbagai spesifikasi lainnya.
Raja, kepala suku yang menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk karakter masyarakatnya yang di kemudian disebut adat masyarakat. Karakter itu akan tercermin dalam sikap masyarakat wilayah tersebut. Misalnya salah satu contoh ketika Cakraninggrat III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung, memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang asing akan menikahi gadis wilayah itu, harus membayar sejumlah uang kepada ngabehi, serta tak boleh membawa pulang perempuan yang dinikahi tersebut, si lelaki mesti tinggal di wilayah kekuasaan hukum raja.
Dampak tersebut setelah raja dan ngabehi tidak lagi memberlakukan hukum tersebut maka kini terserap dalam tradisi "berebut lawang" di mana penganten laki-laki mesti membayar pada penjaga pintu atau lawang di rumah mempelai perempuan.
Berbagai upaya masyarakat untuk membuat hukum tetukun tersebut menjadi mantap di masanya; secara sikap sosial tentu saja masyarakat setempat mesti terbuka dan memiliki toleransi yang tinggi, hingga setiap orang asing yang menikahi gadis Belitung di masa itu akan betah karena sikap masyarakat yang positif itu. Bagaimana jika ada usaha untuk hanya sekedar menikahi misalnya, tentu saja peran mistik dari dukun menjadi berperan hingga muncul asumsi jika sudah terminum air setempat maka orang tersebut akan betah! Dan kesan yang muncul kemudian adalah asumsi; Jika orang asing sudah menikahi gadis Belitung maka ia takkan bisa pulang lagi ke negeri asalnya.
Belum lagi hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya yang membentuk karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati hak-hak antar warganya. Misalnya jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya adalah di gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka dihukum menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya wajib mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar akan menjadi budak raja.
Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.
Hukum-hukum yang mengatur tentang pemanfaatan tanah dan hutan adatnya juga diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat adat tersebut menjadi bijak menggunakan kekayaan alamnya. Hanya orang-orang yang tak tahu adatlah kemudian banyak melanggar sistem yang telah terbentuk dalam masyarakat adat tersebut.
Kelemahan hukum adat Bangka Belitung pada dasarnya tidak pernah diundangkan secara tertulis baik oleh raja, depati, batin, atau pun kepala suku karena masyarakatnya begitu patuh dengan pemimpin mereka. Norma yang tak tertulis itu menjadi titik lemah dalam perkembangan tradisisinya karena kebudayaan selalu bergeser dinamis sehingga pendatang atau yang bukan penduduk asli menjadi ogah untuk menaati hukum adat setempat.
Keunggulan dari norma atau hukum adat yang tak tertulis itu adalah loyalitas dan kebersamaan tetap terjaga pada lingkungan masyarakat adatnya. Ia dengan sendirinya membentuk karakter masyarakatnya menjadi masyarakat yang homogen. Otonomi raja yang pernah mempersatukan masyarakatnya dalam satu simbol kekuasaan akan mencerminkan watak atau karakter tersebut, misalnya pada masyarakat pulau Belitung, mereka homogen dalam bahasa, agama, dan adat istiadat. Suku-suku lain dari komunitas yang lebih kecil pun kebanyakan sudah melebur dalam sistem tersebut. Misalnya Suku Sekak sudah banyak yang masuk Islam, serta menguasai bahasa setempat, meski tradisi kepercayaan mereka tak mungkin mereka hilangkan.
Adat atau norma yang dieksekusi oleh Kepala Kampung dan para kepala suku, itu menyangkut tentang semua aturan setempat yang kini lebih dikenal dengan sebutan kearifan lokal adalah aturan yang sudah berlaku secara turun-temurun. Aturan tersebut kemudian dipertegas secara kepercayaan oleh para dukun dan secara agama oleh penghulu atau lebai kampung. Kearifan lokal yang berkaitan dengan alam sebagai sumber kehidupan yang kemudian mentradisi secara ritual berkaitan dengan kepercayaan diakumulasikan dalam acara ritual misalnya seperti; Buang Jong pada suku Sekak, Nuju Jeramik pada suku Urang Lom, Maras Taon di tradisi Urang Belitong.
Kearifan lokal sehari-hari yang dipatuhi masyarakat, implementasinya begitu sederhana dan mudah untuk diterapkan misalnya berkaitan dengan hutan; jangan menebang kayu dimasa pohon sedang berpucuk; jangan menebang pohon di hutan hulu sungai atau hutan mata air; jangan membuka dan membakar hutan tanpa ada petunjuk dari dukun kampong dan dukun api, dan lainnya. Di bidang perburuan hewan misalnya; jangan berburu di musim bulan terang, jangan membunuh hewan yang lagi bunting, dan lainnya.
Bagaimana hubungan antar manusianya? Adat tradisi yang berkaitan ritualitas pernikahan, di Bangka Belitung memiliki eksotika tersendiri misalnya tradisi prosesi melamar, prosesi seremonial pernikahan, prosesi pesta pernikahan, Belitung terkenal dengan istilah Begawai yang prosesinya melibatkan perangkat penghulu hingga personil perangkat kerjanya yang dilaksanakan secara sistematis dan unik hingga kini. Di Bangka di kenal juga adanya tradisi Kawin Massal dengan prosesi kebersamaan adat sepintu sedulangnya.
Wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung telah membentuk kesatuan adat tersendiri, ia tak lekang oleh zaman karena sudah melebur ke dalam karakter masyarakatnya. Namun perubahan arus budaya barat dari Belanda dan budaya timur dari China yang mulai masuk sejak eksploitasi timah di kedua wilayah Bangka belitung cukup berpengaruh di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi maka akulturasi dan inkulturasi pun tak terelakan.
Karakter masyarakat pekerja timah pada perusahaan timah cenderung menjadi peodal pada masa-masa permulaan. Gejala ini muncul ketika Belanda memberlakukan pengkotakan, sistem levelitas pada pekerja di maskapainya. Ini muncul di Belitung; misalnya level jabatan karyawan tertentu akan mendapat keistimewaan dan pasilitas kesejahteraan tertentu pula. Tak aneh jika dikemudian muncul sikap yang merendahkan level yang terbawah, namun tak aneh pula jika level terbawah ini jika status sosial mereka terdongkrak akan bersikap angkuh dan sombong!
Pulau Bangka yang masyarakatnya lebih plural, hampir tak mengenal sistem peodal karena Kolonial Belanda merasa kesulitan menguasai karakter pada masyarakat yang tidak homogen. Kecuali perlakuan khusus pada penguasa orang-orang China, misalnya pemberian kekuasaan pada orang China yang kooperatif seperti diberikan pada Kapiten China. Ini memungkinkan untuk balance of power karena sebelumnya orang-orang China pekerja parit timah telah mengadakan pemberontakan yang dipimpin oleh Liu Ngie tahun 1842-1900. Di Belitung hampir tak ada pemberontakan dari komunitas etnik China ini, kapiten China yang mengepalai komunitas China di Tanjung Pandan pada masa itu adalah Ho A Jun.
Pengaruh pemberontakan ditingkat bawah itu, membuat orang-orang China pada strata kuli ini memiliki rasa kebersamaan nasib hingga hubungan sosial dengan masyarakat asli menjadi akrab maka tak aneh jika keturunan etnik China di Bangka, ada yang tak bisa lagi menggunakan bahasa ibunya. Perkawian campuran, dan eknik China yang masuk Islam sudah bukan hal baru.
Akulturasi di salah satu identitas budaya Bangka; kelengkapan pakaian adat pengantin adat Bangka yang disebut dengan Paksian ada dipengaruhi oleh budaya China terutama pada warna serta simbol-simbol mahkota pengantin perempuan yang disebut dengan Paksian. Sedangkan pada identitas budaya lainnya seperti kesenian; sastra pantun yang erat kaitannya dengan bahasa melayu, ia masih tetap eksis. Pada tarian terjadi akulturasi dari China, Arab dan Melayu. Musik tradisional gambus pengaruh Persianya sangat kental. Kesenian asli yang tak terpengaruh adalah kesenian campak Suku Sekak atau Suku Laut, tapi kesenian asli ini kurang nampak mendapat perhatian hingga kemungkinan akan lenyap begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar