Rabu, 20 Juni 2012

BAHASA INDONESIA ADALAH BAHASA MELAYU


BAHASA INDONESIA ADALAH BAHASA MELAYU

Bahasa Melayu sangat bervariasi. Penyebab yang utama adalah tidak adanya institusi yang memiliki kekuatan untuk mengatur pembakuannya. Kerajaan-kerajaan Melayu hanya memiliki kekuatan regulasi sebatas wilayah kekuasaannya, padahal bahasa Melayu dipakai oleh orang-orang jauh di luar batas kekuasaan mereka. Akibatnya muncul berbagai dialek (geografis) maupun sosiolek (dialek sosial). Pemakaian bahasa ini oleh masyarakat berlatar belakang etnik lain juga memunculkan berbagai varian kreol di mana-mana, yang masih dipakai hingga sekarang.
Ada kesulitan dalam mengelompokkan bahasa-bahasa Melayu. Sebagaimana beberapa bahasa di Nusantara, tidak ada batas tegas antara satu varian dengan varian lain yang penuturnya bersebelahan secara geografis. Perubahan dialek seringkali bersifat bertahap. Untuk kemudahan, biasanya dilakukan pengelompokan varian sebagai berikut:

  1. Bahasa-bahasa Melayu Tempatan (Lokal)
  2. Bahasa-bahasa Melayu Kerabat (Paramelayu, Paramalay = Melayu "tidak penuh")
  3. Bahasa-bahasa kreol (bukan suku/penduduk melayu) berdasarkan bahasa Melayu

Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah melebihi jumlah penutur bahasa Melayu di Malaysia maupun di Brunei Darussalam. Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu hingga pesisir Pulau Borneo dan kota Negara, Bali.
Mungkin semua berfikiran kalau bahasa melayu di Indonesia terutama melayu Riau sama dengan melayu Malaysia. Bahkan ada sebagian kerabat kita keturunan melayu yang lebih cenderung menyamakan bahasa mereka dengan bahasa melayu Malaysia. Tanpa mereka sadari sebenarnya antara bahasa melayu di Indonesia dengan bahasa melayu Malaysia berbeda perkembangan
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Bahasa indonesia adalah bahasa melayu sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya
.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:

1.Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
2.Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3.Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4.Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun  688

Yang kesemuanya bertuliskan Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.

Berikut ini kutipan sebagian bunyi batu bertulis Kedukan Bukit.
Swastie syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyaakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwan...

Terjemahan dalam bahasa Melayu sekarang bahasa Indonesia :

 Selamat! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas pada masa terang bulan Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik di perahu menjemput Siddhayaatra. Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan...

Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di

 1. Jawa Tengah, Prasasti Gandasuli, tahun 832
 2. Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942

Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di pulau Sumatra, melainkan juga dipakai di pulau Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan.
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi Masuk Melayu berarti masuk agama Islam.

Awal Bahasa Indonesia

Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1.      Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.       Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.      Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.      Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan

.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Dari puluhan dialek dan ratusan bahasa daerah, bahasa Indonesia menggantikan seluruh identitas bahasa kedaerahan. Bahasa Indonesia menyerap sedemikian rupa  ribuan kosakata daerah. Tidak jarang bahasa daerah-Indonesia digunakan secara berseling dalam suatu komunikasi. Komunikasi semacam itu menghasilkan kebudayaan yang khas. Bahasa Internasional pun kerap digunakan berseling rupa dengan bahasa nasional.
Semenjak Raja Ali Haji menganyam Kitab Pengetahuan Bahasa yang banyak disebut sebagai buku kumpulan kosakata dan susunan bahasa Melayu tersitematisasi, bahasa Melayu-Indonesia itu terus berkembang hingga kini. Sumpah pemuda semakin menegaskan sistem bahasa Indonesia. Secara nasional, bahasa yang dipakai di Nusantara adalah Bahasa Indonesia, namun dari sudut pandang linguistic,
Kebudayaan terus berkembang, ketika dunia meng-global, kebudayaan pun ikut berkembang ke arah yang sama. Suatu fenomena bahasa yang perlu diperhatikan adalah sifat bahasa yang “hidup”. Bahasa terus mekar menyerap kata baru sekaligus membuang puluhan kosakata lama. Banyak kosakata telah mati, tidak digunakan, dan puluhan kosakata baru diserap dan dilahirkan. Tidak sedikit pula kosakata yang berkembang menjadi multi makna. Pepatah-petitih dan pantun merupakan contoh fenomena bahasa yang mulai ditinggalkan.
Pepatah dan pantun terdapat dalam bahasa daerah, biasanya bersifat khusus dalam skala sempit. “Lain ladang lain belalang”, lain daerah lain pantun/pepatah. Sebagian pepatah pantun sangat populer dan melintasi batas teritori. Tidak jarang pepatah asing digunakan untuk menggantikan pepatah daerah yang sudah “kehilangan penggemar”.
Di balik bahasa Indonesia, tradisi berpantun terasa kuat, dari Betawi hinga Melayu Riau. Pantun tiada lain bagian dari cara berkomunikasi secara santun. Komunikasi formal tidak mengenal pantun karena kesantunan dianggap bukan bagian dari tubuh bahasa. Pepatah hanya dijadikan ikon keindahan berbahasa. Bahasa untuk berkomunikasi diajarkan secara resmi. Berkat kurikulum”muatan lokal”, bahasa daerah mendapatkan tempat secara formil. Tetapi, muncul masalah berupa formalisasi bahasa.
Ketika bahasa komunikasi formal mendominasi keseluruhan tubuh bahasa, maka fenomena bahasa yang bersifat khusus akan terpinggirkan. Secara tidak sadar tubuh bahasa terpecah menjadi dua bagian, tubuh inti yang berisi bahasa formal dan tubuh pinggiran yang berisi pantun, pepatah, bahasa yang bersifat kedaerahan.
Kekhasan tubuh bahasa Indonesia yang berbentuk pantun dan petitih itu tidak dikontribusikan sebagai penyumbang tatanan rumah bahasa internasional, padahal ia bisa menjadi ornamen, pelengkap atau mengisi sisi yang tidak dimiliki bahasa internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar