BAHASA INDONESIA ADALAH BAHASA
MELAYU
Bahasa
Melayu sangat bervariasi. Penyebab yang utama adalah tidak adanya institusi
yang memiliki kekuatan untuk mengatur pembakuannya. Kerajaan-kerajaan Melayu
hanya memiliki kekuatan regulasi sebatas wilayah kekuasaannya, padahal bahasa
Melayu dipakai oleh orang-orang jauh di luar batas kekuasaan mereka. Akibatnya
muncul berbagai dialek (geografis) maupun sosiolek (dialek sosial). Pemakaian
bahasa ini oleh masyarakat berlatar belakang etnik lain juga memunculkan
berbagai varian kreol di mana-mana, yang masih dipakai hingga sekarang.
Ada
kesulitan dalam mengelompokkan bahasa-bahasa Melayu. Sebagaimana beberapa
bahasa di Nusantara, tidak ada batas tegas antara satu varian dengan varian
lain yang penuturnya bersebelahan secara geografis. Perubahan dialek seringkali
bersifat bertahap. Untuk kemudahan, biasanya dilakukan pengelompokan varian
sebagai berikut:
- Bahasa-bahasa Melayu Tempatan (Lokal)
- Bahasa-bahasa Melayu Kerabat (Paramelayu, Paramalay = Melayu "tidak penuh")
- Bahasa-bahasa kreol (bukan suku/penduduk melayu) berdasarkan bahasa Melayu
Jumlah penutur
bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah melebihi
jumlah penutur bahasa Melayu di Malaysia maupun di Brunei Darussalam. Bahasa
Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu hingga pesisir Pulau Borneo dan kota Negara, Bali.
Mungkin semua berfikiran kalau bahasa melayu di Indonesia
terutama melayu Riau sama dengan melayu Malaysia. Bahkan ada sebagian kerabat
kita keturunan melayu yang lebih cenderung menyamakan bahasa mereka dengan
bahasa melayu Malaysia. Tanpa mereka sadari sebenarnya antara bahasa melayu di
Indonesia dengan bahasa melayu Malaysia berbeda perkembangan
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor,
dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu
pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan
dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu
periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh
ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal
bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719,
ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu
dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir
200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan
persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir;
tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul
Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika
percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Bahasa
indonesia adalah bahasa melayu
sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk
informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari sering dinamai dengan istilah Melayu
Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif,
dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain
dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi, pada masa
lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan
Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh
sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan
Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Belanda berusaha meredamnya
dengan mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya
sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu
Pasar sudah telanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah
dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada
beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka.
Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan
Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra
juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga
Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu
dengan Sriwijaya
.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1.Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1.Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
2.Prasasti
Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3.Prasasti
Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4.Prasasti Karang Brahi antara Jambi
dan Sungai Musi, tahun 688
Yang kesemuanya bertuliskan Pra-Nagari dan bahasanya bahasa
Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu
Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Berikut ini kutipan sebagian bunyi batu bertulis Kedukan
Bukit.
Swastie
syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyaakha dapunta
hyang naayik di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan
jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwan...
Terjemahan
dalam bahasa Melayu sekarang bahasa Indonesia :
Selamat! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas pada masa terang bulan
Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik di perahu menjemput Siddhayaatra. Pada
hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas
dari Minanga Taamwan...
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu
Kuno juga terdapat di
1. Jawa Tengah, Prasasti Gandasuli, tahun 832
2.
Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942
Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan
bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di pulau Sumatra,
melainkan juga dipakai di pulau Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan
bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada
masa yang berdekatan.
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9
hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu
Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik
pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh
pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai
pada tahap di mana ekspresi Masuk Melayu
berarti masuk agama Islam.
Awal Bahasa Indonesia
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada Kongres Nasional
kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
untuk negara Indonesia pasca kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya
sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun
beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang
dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara
Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.
Jika bahasa Jawa digunakan,
suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh
suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan
dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang
dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat.
Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif
yang lebih besar.
3.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan
bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku,
atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu
berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka
direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang
paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu,
Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya
terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain
Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan
.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih
ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan
kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan
Jepang.
Dari puluhan dialek dan ratusan
bahasa daerah, bahasa Indonesia menggantikan seluruh identitas bahasa
kedaerahan. Bahasa Indonesia menyerap sedemikian rupa ribuan kosakata
daerah. Tidak jarang bahasa daerah-Indonesia digunakan secara
berseling dalam suatu komunikasi. Komunikasi semacam itu menghasilkan kebudayaan yang khas. Bahasa Internasional pun kerap digunakan berseling rupa dengan bahasa nasional.
Semenjak Raja Ali Haji menganyam Kitab Pengetahuan Bahasa
yang banyak disebut sebagai buku kumpulan kosakata dan susunan bahasa Melayu tersitematisasi, bahasa Melayu-Indonesia itu terus berkembang
hingga kini. Sumpah pemuda semakin menegaskan sistem
bahasa Indonesia. Secara nasional, bahasa yang dipakai di Nusantara adalah
Bahasa Indonesia, namun dari sudut pandang linguistic,
Kebudayaan terus berkembang, ketika dunia meng-global,
kebudayaan pun ikut berkembang ke arah yang sama. Suatu fenomena bahasa yang
perlu diperhatikan adalah sifat bahasa yang “hidup”. Bahasa terus mekar
menyerap kata baru sekaligus membuang puluhan kosakata lama. Banyak kosakata
telah mati, tidak digunakan, dan puluhan kosakata baru diserap dan dilahirkan.
Tidak sedikit pula kosakata yang berkembang menjadi multi makna.
Pepatah-petitih dan pantun merupakan contoh fenomena bahasa yang mulai
ditinggalkan.
Pepatah dan pantun terdapat dalam bahasa daerah, biasanya bersifat khusus dalam skala sempit. “Lain ladang lain belalang”, lain
daerah lain pantun/pepatah. Sebagian
pepatah pantun sangat populer dan melintasi batas teritori. Tidak jarang
pepatah asing digunakan untuk menggantikan pepatah daerah yang sudah
“kehilangan penggemar”.
Di balik bahasa Indonesia, tradisi berpantun terasa kuat,
dari Betawi hinga Melayu Riau. Pantun tiada lain bagian
dari cara berkomunikasi secara santun.
Komunikasi formal tidak mengenal pantun karena kesantunan dianggap bukan bagian dari tubuh
bahasa. Pepatah hanya dijadikan ikon keindahan berbahasa. Bahasa untuk
berkomunikasi diajarkan secara resmi. Berkat kurikulum”muatan lokal”, bahasa
daerah mendapatkan tempat secara formil. Tetapi, muncul masalah berupa
formalisasi bahasa.
Ketika bahasa komunikasi formal
mendominasi keseluruhan tubuh bahasa, maka fenomena bahasa yang bersifat khusus
akan terpinggirkan. Secara tidak sadar tubuh bahasa terpecah menjadi dua
bagian, tubuh inti yang berisi bahasa formal dan tubuh pinggiran yang berisi
pantun, pepatah, bahasa yang bersifat kedaerahan.
Kekhasan tubuh bahasa Indonesia yang berbentuk pantun dan petitih
itu tidak dikontribusikan sebagai penyumbang tatanan rumah bahasa
internasional, padahal ia bisa menjadi ornamen, pelengkap
atau mengisi sisi yang tidak dimiliki bahasa internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar