SIMPUR DAN PURUN
Adalah
Daun Simpur yang biasa digunakan sebagai “cilok” untuk membungkus
barang-barang basah di pasar, seperti ikan, sayur dan lain-lain. Cara
menggunakan daun ini adalah dengan membuatnya seperti kerucut. Kalau
perlu cilok lebih besar, ditambah
2-3 daun sehingga menjadi kerucut ukuran jumbo, untuk membungkus ikan
kepetek atau ikan ciu, untuk dibawa pulang dengan “sangkek rotan” (keranjang segiempat dari anyaman rotan).
Tanaman
Simpur (sumpun), yang daunnya cukup lebar digunakan untuk membungkus.
Perdu ini banyak tumbuh di Pulau Bangka, khususnya di lahan yang dekat dengan kolong (sungai). Tidak ada
manfaat ekonomi lain dari tanaman ini selain diambil daunnya
Pengikat
cilok Daun Simpur ini adalah “Tali Purun”, (tali plastik jaman itu
belum banyak), yaitu tali yang terbuat dari tanaman Purun, yang
berbentuk batangan berongga sebesar sedotan plastik. Tumbuh di rawa atau
tepian kolong. Setelah dicabut, tanaman yang panjangnya kira-kira 1,5
meter ini dipukul-pukul (digepuk) sampai pecah-pecah dan lentur,
kemudian dilipat dua dan diikat juga menggunakan tali purun. Ikatan Tali
Purun ini digantung di meja pasar, dekat kotak uang, agar mudah ditarik
satu tangan sementara tangan yang lain memegang bungkusan Daun Simpur.
Inilah
tumbuhan Purun, sejenis rerumputan yang tumbuh di rawa-rawa atau kolong
tua. Batangnya digunakan untuk tali pengikat. Bisa juga diannyam
menjadi tikar atau tas. Banyak juga terdapat di Kalimantan. (foto ini di
upload dari "endro-endro.blogspot.com")
Ikan
besar yang tidak bisa lagi dibungkus, seperti tongkol, atau tenggiri,
cukup diikat ekornya dengan tali purun untuk “di-cangking” pulang dengan
“kereto angin” (sepeda) Dijamin tidak akan putus. Begitulah, pada jaman
dulu, pedagang pasar Belinyu membungkus dan mengikat jualannya.
Ditoko-toko juga kadang Daun Simpur digunakan untuk
pembungkus
asem, belacan dan kawan-kawannya. Selain itu juga, dipakai untuk cilok
jualan buah kemunting, keranji, biasa juga dibuat “pincuk” untuk
pembungkus tape ubi. Kalau digunakan untuk pincuk, tulang daun harus
dibuang dulu, agar lembaran daun menjadi lentur, sebagai pembungkus tape
ubi. Ujun
gnya
disematkan biting dari lidi kelapa. Dan Tape Ubi bisa mulai dijual
keliling kampung, dengan “penampi” dijunjung di kepala.
Tapeeee…Ubiiiiiii.!...Tapee…Ubiiiiiiiii
Tape ubi dibungkus daun simpur (foto Christinetanod.multiply.com)
Menurut yang punya foto, bungkusan daun simpur ini adalah tahu yang dijual. (chritinetanod.multiply.com)
Hingga
tahun-tahun 80an, bahkan nasi bungkus dari Pesanggrahan TTB, masih
menggunakan Daun Simpur diikat Tali Purun. Nasi yang dibungkus daun
simpur terasa lebih harum, ketimbang dibungkus kertas atau kotak karton
seperti Nasi Padang. Apalagi dimakan pada saat lapar kerja lembur
karyawan TTB.
Pendek
kata, jaman itu Daun Simpur merajalela di kota Belinyu. Setiap pagi
daun simpur ini dipasok dari Kusam, Gunung Muda, Thaikongpoi,
parit-parit. Memang jaman itu, banyak orang yang berprofesi khusus
mencari Daun Simpur, sebagai kemasan yang ramah lingkungan ini.
Pohon
Simpur bisa juga menjadi pohon peneduh, karena daun-nya lebar dan rapat
serta tidak mudah lepas. Pohon Simpur dalam foto ini bibitnya dibawa
dari Belinyu dan ditanam di Cisarua Puncak, oleh pemilik Villa yang
kebetulan wong Belinyu. Cukup subur juga tumbuhnya. Buah Nanas yang
melekat di pohon cuma pajangan. Menurut yang punya, foto ini adalah
waktu acara kumpul-kumpul "Blijong Club" di Puncak Bulan Juni 09 kemarin
(Foto di copy dari FB. Ibu Elizabeth Wan Lie, dan telah seizin beliau,
Sin mung ya Bu!)
Tanaman
Simpur, banyak tumbuh liar di lelap (rawa-rawa) atau bekas
tambang-tambang di Belinyu. Daunnya lebar mirip daun jati, yang tua agak
getas seperti daun mangga. Dibawa ke pasar dalam bentuk gulungan. Satu
gulungan berisi 10 lembar. Harganya pada saat itu 50 rupiah saja,
kira-kira Rp.500 kurs uang sekarang. Tidak ada kebohongan dengan
memasukkan daun yang jelek atau bolong-bolong ke dalam gulungan. Semua
daun bagus dan mulus. Tiap tukang sayur atau penjual ikan sudah
mempunyai langganan pemasok sendiri, dan sudah saling paham berapa
gulung kebutuhan tiap penjual.
Sedang
tanaman Purun sebagi tali pengikat, merupakan gulma di rawa-rawa,
tepian kolong-kolong tua. Purun ini bisa juga dianyam menjadi tikar,
atau “sangkek” (tas). Supaya awet dan lentur, Purun harus direndam dulu
di kambang, kemudian dijemur sebelum dianyam. Dulu di Kolong Gunung Muda
di ujung kmp.Sincong, di bawah “Len Listrik” banyak
sekali terdapat tanaman Purun. Saat ini, walaupun kolong semakin banyak
membuat bopeng wilayah Belinu karena TI, Namun tanaman Purun kian
langka. Karena Purun baru tumbuh setelah kolong berusia puluhan tahun.
Generasi
sekarang sudah jarang melihat Daun Simpur sebagai pembungkus. Buah
kemunting sudah tidak dijual lagi. Tape Ubi tidak menggunakan Daun
Simpur lagi. Semua sudah menggunakan “tas kresek” hitam, yang dibuat
dari sampah plastik daur ulang plastik bekas. Sampah yang kian banyak
menyumbat “bandar-bandar” (selokan) didominasi “tas kresek”
ini. Perlu kita tahu, bahwa sampah Tas Kresek ini, baru
terdaur ulang oleh tanah dalam jangka 60 tahun. Kini jaman semakin
maju, dunia semakin praktis, namun budaya hidup manusia semakin tidak
ramah terhadap alam. Sebuah kantong plastik yang kita buang,
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar