menulis puisi
Puisi adalah susunan
kata yang indah, bermakna, dan terikat konvensi(aturan) serta unsur-unsur
bunyi. Menulis puisi biasanya dijadikan media untuk mencurahkan perasaan,
pikiran, pengalaman, dan kesan terhadap suatu masalah, kejadian, dan kenyataan
di sekitar kita.
Tahap-tahap
penciptaan puisi melalui empat tahap penting, yaitu sebagai berikut:
1. Pencarian ide,
dilakukan dengan mengumpulkan tau menggali informasi melalui membaca, melihat,
dan merasakan terhadap kejadian/peristiwa dan pengalaman(pribadi), sosial(masyarakat),
ataupun universal(kemanusiaan dan ketuhanan).
2. Perenungan, yakni
memilih atau menyaring informasi(masalah, tema, ide, gagasan) yang menarik dari
ide yang didapat. Kemudian memikirkan, merenungkan, dan menafsirkan sesuai
dengan konteks, tujuan, dan pengetahuan yang dimiliki.
3. Penulisan,
merupakan proses yang paling genting dan rumit. Penulisan ini mengerahkan
energi kreatif(kemampuan daya cipta), intuisi, dan imajinasi(peka rasa dan
cerdas membayangkan), serta pengalaman dan pengetahuan. Untuk itulah, tahap
penulisan hendak mencari dan menemukan kata ataupun kalimat yang tepat,
singkat, padat, indah, dan mengesankan. Hasilnya kata-kata tersebut menjadi
bermakna, terbentuk, tersusun, dan terbaca sebagai puisi.
4. Perbaikan atau
revisi, yaitu pembaca ulang terhadap puisi yang telah diciptakan. Ketelitian
dan kejelian untuk mengoreksi rangkaian kata, kalimat, baris, bait, sangat
dibutuhkan. Kemudian, mengubah, mengganti, atau menyusun kembali setiap kata
atau kalimat yang tidak atau kurang tepat. Oleh karena itu, proses revisi atau
perbaikan ini memakan waktu lama hingga puisi tersebut telah dianggap
''menjadi'' tidak lagi dapat diubah atau diperbaiki oleh penulisnya.
Telah banyak terbit
kamus-kamus, baik yang disebut Kamus Besar maupun Kamus Kecil, baik yang umum
maupun yang khusus di bidangnya —seperti Kamus Politik, Kamus Teknik, Kamus
Fisika, Kamus Matematika, Kamus Biologi, Kamus Psikologi, dlsb. dengan tingkat
kelengkapan dan keakuratan yang berbeda satu sama lain. Namun kesemuanya tentu
diurutkan menurut abjad demi untuk memudahkan pencarian.
Sedangkan kamus atau
daftar kata yang diurutkan sesuai rima belum penulis temukan —tentu karena
penulis yang kurang pergaulan. Karena kekurangan itulah penulis menyusun daftar
kata berdasarkan rima ini.
a. Awalan dan Akhiran
Secara umum, daftar
kata dalam buku ini dalam bentuk kata dasar. Jika ada kata jadian yang terselip
di sana-sini, maka atas pertim-bangan bahwa kata tersebut lebih sering
digu-nakan dalam bentuk kata jadian dan atau kata jadian tersebut telah menjadi
semacam kata dasar tersendiri serta memiliki makna yang sedikit berbeda dengan
kata dasar aslinya. Seperti: berantakan, keliaran, kelimpungan, kedodoran,
rongsokan, rombongan, lingkungan, tunangan, serabutan, dlsb.
Sangat jarang kita
menggunakan kata “berantak” saja, “keliar”, “limpung”, “dodor”, “rongsok”,
“rombong”, atau “lingkung” saja. Seperti juga kata “tunang”, lebih sering kita
gunakan dalam kata jadian, yaitu tunangan, ditunangkan, atau pertunangan.
b. Pembatasan Kata
Bahasa Indonesia
adalah bahasa rumpun melayu dan kombinasi dari berbagai bahasa dae-rah. Tidak
sedikit pula mengadopsi dari berbagai bahasa asing, seperti Arab, Inggris,
Belanda, Latin, dll. Dengan demikian sangat banyak jika harus ditulis semuanya.
Dalam buku ini
penulis batasi hanya pada kata-kata yang umum-umum saja, yang cende-rung sering
didengar —tentu dalam subyek-tifitas penulis sendiri. Pertimbangan untuk tidak
mencantumkan adalah karena akan banyak sekali dan cenderung disebut sebagai
kata yang kurang puitis —kembali lagi menurut subyektifitas penulis sendiri.
Untuk itu jika kata
yang anda cari tidak terdapat dalam daftar kata di buku iki maka dapat anda
tambahi sendiri sesuai dengan spesifikasi ilmu yang anda minati.
c. Tata Urutan Kata
Kumpulan kata
berdasarkan rima dalam buku ini diurutkan dari belakang ke depan. Selengkapnya
dapat dilihat pada bagian II buku ini (halaman 20).
d. Rima Irama
Pentingnya kata-kata
disusun menurut rimanya adalah faktor mudah di lidah, nyaman didengarkan, dan
cepat diingat. Seperti lagu pengamen kecil —sekitar 8 tahun— yang pernah
penulis jumpai di bis kota:
Inilah pesan kami,
anak-anak jalanan
Turunnya kaki kiri,
naiknya kaki kanan
Karena kalimatnya
tersusun apik, maka mudah sekali untuk mengingatnya. Sehingga daftar kata rima
dalam buku ini tidak terutama untuk menulis puisi, syair, atau pantun saja,
tapi juga dalam bentuk prosa, untuk percakapan sehari-hari, ngobrol, bercanda,
dlsb.
Bahkan kitab suci pun
telah mendahului-nya dengan kalimat-kalimat yang memiliki akhiran sama. Seperti
dalam surah An-Nâs yang jika ditranslit ke huruf latin berakhiran “as”.
Walaupun tidak semua
ayat memiliki akhiran yang sama, tetapi ketika kita melafal-kannya akan terasa
nikmat di lidah, lekat di jiwa dan melesat ke hati. Dari cara penulisan kitab
suci kita dapat belajar untuk menyusun kata, tanpa bermaksud menyaingiNya.
e. Kata Sebagai
Ungkapan Rasa
Dalam penyusunan
daftar kata rima ini agar penyusun memahami lebih dalam kata apa saja yang
serumpun pantun, kata-kata yang memiliki akhiran yang sama. Karena dengan
menulis dan atau membaca maka makna akan nampak juga.
Kata adalah salah
satu bahasa ungkap yang digunakan oleh makhluk yang bernama manusia, kalau
tidak mau disebut bisu. “Kun”, “Jadilah!” juga berupa kata-kata Tuhan untuk
mengadakan jagad dan isinya ini.
Dengan kata kita
saling bertegur sapa. Dengan kata kita dapat menjelaskan perihal kita kepada
sesama, meluruskan salah paham, dlsb.
Namun pula, kata-kata
sering menipu. Begitu banyak dari kita pandai dalam kata-kata, tetapi nihil
dalam karya nyata. Dan lucunya ketika kita ingin mengungkapkan bahwa kata-kata
tidak penting pun juga dengan kata-kata.
Maka tak salah jika
lidah adalah satu dari lima indera yang letaknya perlu dilindungi gigi yang
kokoh dan balut bibir. Tentu untuk meng-ingatkan pemiliknya bahwa lidah bisa
sangat berbahaya dan lebih tajam daripada pedang.
f. Semua Manusia
Pernah Berpuisi
Sebagian orang
menganggap bahwa puisi atau syair adalah suatu wilayah tersendiri yang hanya
bisa dipelajari di sebuah lembaga pendi-dikan atau komunitas tertentu. Sampai
ada seo-rang kiai yang juga gemar bersyair, dikritik oleh kiai yang lain, “Kiai
kok bersyair?” Sedangkan yang mengkritik tersebut juga sering menden-dangkan
syair, hanya saja tidak atau belum tahu kalau yang dibacanya adalah syair
(dalam bahasa pesantren disebut nadhom).
Ada juga yang
menganggap bahwa bikin puisi itu susah, perlu jiwa seni, perlu daya sastra
tinggi. Padahal orang menangis, orang tertawa, sedih dan gembira, semua bisa
dikatakan sedang bersyair, sedang merasakan dan mengungkapkan sesuatu. Dan
kesulitan mengungkapkan sesu-atu itu sendiri juga bisa menjadi syair?
Oh, lidahku kelu
membisu
Tak mampu kukatakan
kepadamu
Karena akalku juga
sedang beku
Aku tak sepandai kamu
Dalam menyusun lagu-lagu
Karena aku sendiri
adalah lagu
Bagaimana mungkin
lagu menyusun lagu?
Tuh kan. Jeruk kok
minum jeruk? Mengalir saja apa adanya, tanpa terlalu terpaku dengan
definisi-definisi. Hanya dengan mengisahkan apa yang dilihat dan dirasakan
saja.
Bahkan jika ada orang
yang tidak suka puisi, maka ia sedang berpuisi. Kritikan atau penolakan
terhadap puisi atau syair adalah bentuk syair juga, dan bisa datang dari
seorang penyair. Seperti penggalan salah satu syair Emha Ainun Nadjib di bawah
ini:
Huruf-huruf berteriak:
“Siapa yang
mengumpulkan kita di sini?”
“Siapa penguasa yang
merangkai-rangkai kita, memperbudak kita, menjadikan kita gumpalan-gumpalan
keindahan, sesuai hanya dengan kehendaknya?”
“Siapa itu yang
memaksa kita menjadi tumpukan batu-bata bangunan klenik dan kepengecutan?”
Huruf-huruf
menggeram:
“Ini bukan aku. Dan
di sini bukan tempatku”.
g. “Makna Rasa” &
“Bentuk Kata”
Sesuatu pesan,
informasi, nasehat, atau apapun yang menggunakan kata-kata sebagai alatnya,
tentu harus mengenal lebih dalam tentang kata-kata itu sendiri. Apalagi jika
pesan tersebut ingin mudah untuk diingat penerima pesan. Telah banyak pesan
yang ditinggalkan begitu saja karena alat/kata-katanya sulit diingat. Telah banyak
pidato dikoarkan.
Antara pesan dan kata
yang digunakan tidak selalu sesuai dengan yang dimaksudkan. Ada perbedaan
budaya antara satu orang dengan lainnya meskipun mereka hidup di lingkungan
yang sama.
“Kamu punya uang
gak?”
Pertanyaan seperti
ini sangat berhu-bungan dengan sedikit atau banyak, serta siapa yang ditanya.
Apakah biasa pegang uang banyak atau sedikit.
Seratus ribu rupiah
bisa dirasakan banyak bagi seseorang, tapi juga bisa dianggap kecil bagi yang
lain. Bahkan orang yang sama bisa merasa-kan nilai yang berbeda pada satu jenis
pengala-man rasa. Pada suatu saat seratus ribu terasa sedikit, dan pada saat
yang lain terasa banyak.
Begitu juga dalam hal
pengungkapan rasa melalui kata. Dua orang sangat bisa menilai dengan penilaian
yang berbeda pada satu peris-tiwa, yang bahkan disaksikan bersama-sama.
“Eh tau nggak, tadi
ada tawuran. Ya biasa sih, hanya tawuran anak-anak remaja, saling lempar batu,
caci-mencaci, ...” kata yang satu sibuk mendeskripsikan apa yang dilihatnya.
Sedangkan yang kedua
sibuk menghitung korban luka, “Wah, seru. Ada yang kepalanya robek, kakinya
pincang, ...”
Lalu bagi yang hanya
mendengar berita dari orang kedua bisa menilainya bukan robek lagi tapi “pecah
kepalanya”. Lalu disampaikan pada pendengar kedua menjadi “remuk”, dst.
h. Jika Kata Tak
Mewakili Rasa
Tak jarang kita
mendengar seseorang berkata, “Apa yang kurasakan ini tak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.”
Ada dua faktor, satu:
karena memang pengalaman yang dirasakan begitu tinggi dan sangat jarang orang
lain mengalami; kedua, karena memang orang yang mengalaminya kurang mampu
merangkai kata.
Jika diteliti lebih
dalam, maka terlalu banyak faktor. Apalagi rumus yang berlaku adalah “Semakin
banyak yang kita ketahui, maka semakin kita tidak tahu”. Dus, jika makna
terlalu banyak diungkapkan, maka yang terjadi adalah “polusi makna”, dan
berhenti hanya pada kata-kata tanpa bukti nyata.
Untuk itu ada istilah
puisi tanpa kata. Dan tokoh yang tak asing lagi seperti Sutardji Calzoum Bachri
sering dikaitkan dengan jenis puisi ini. Namun sebelum menuju ke arah itu,
terlebih dahulu buku ini menjadi awalnya, Taman Kanak-kanak Kata, kuasai dulu
kata-kata, sehingga ketika memutuskan untuk pergi dari wilayah kata, kita tidak
sedang salah sangka saja.
Sumber : berbagai buku dan Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar