PAHLAWAN BANGKA BELITUNG
(DEPATI
HAMZAH,BATIN TIKAL DAN DEPATI BAHARIN
Amir adalah putera sulung Depati
Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung
Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena
ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan
Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai
kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat
pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada
keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur
Pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun
1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima
Perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas,
berani, cerdas dan cakap.
Amir
dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah Tampui dan Belah serta di kaki
Gunung Maras, namun secara pasti Pasukan terus berpindah dan bergerak diseluruh
pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam Pertempuran strategi yang digunakan
adalah perang gerilya dengan ciri
Disamping pasukan utama dibentuk pasukan
pasukan kecil dimasing masing distrik yang dipimpin oleh seorang Panglima
Perang.
Tugas
pasukan kecil ini adalah menyerang pos pos militer Belanda dan parit-parit
sebagai pusat kekayaan dan keuangan Belanda, serta membumihanguskan Batin Batin
untuk menaikkan moral perjuangan dan menghancurkan sumber logistik musuh.
Melemahkan mental dan moral musuh
dengan menyerang kemudian menghilang dengan cepat, mengelabui dan menjebak
musuh dengan memanfaatkan kondisi geografis alam Pulau Bangka
.Menghindari pertempuran terbuka dan
frontal.Memasang rintangan dan ranjau sepanjang jalan
Pangkalpinang-Mentok.Mengadakan gerakan kontra mata mata.Mendatangkan senjata
dan amunisi bekerjasama dengan orang orang Cina.
Untuk
menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah,
Belanda mengalami kebingungan dan kesulitan, sehingga bermacam strategi
dilakukan antara lain:
Parit parit dijaga oleh militer dan
di kampung kampung didirikan pos militer.
Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
Memberi hadiah bagi yang dapat
memberikan informasi keberadaan Amir dan Hamzah atau yang berhasil
menangkapnya.
Melakukan gerakan gerakan militer,
benteng stelsel, memperkuat balatentara dan mendatangkan kapal perang untuk
mempercepat gerak pasukan guna mendesak dan menumpas perlawanan.
Menawarkan perundingan dengan
memberi Gaji dan Tunjangan Kepada Amir dan Hamzah, kepada para Batin dan Mandor
kampung untuk mengikat supaya tidak melakukan perlawanan.
Menjanjikan melepas keluarga Amir
dan Hamzah yang ditahan.
Melaksanakan perundingan di Kampung
Layang dipimpin oleh Kapten Dekker.Kekurangan akan logistik dan kondisi
pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba Pulau
Bangka yang sangat luas yang menjadi pemikiran Amir dan Hamzah, sehingga ketika
pasukannya kembai ke kampung - kampung untuk menggarap ladang pertanian justru
menjadi hal yang dianjurkan, karena mengingat kepentingan yang lebih besar
yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan. Di samping kekurangan pangan
dan logistik perang ditambah iklim yang kurang mendukung, menyebabkan dalam
peperangan digunakannya peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan
sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas,
pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti
disertai penyergapan - penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin
lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada
tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Amir dan Hamzah beserta
pengikutnya berhasil meloloskan diri. Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir
dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke markas
militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari
1851, selanjutnya di bawa ke Mentok. Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah
Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor.
Perjuangan
tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor Propinsi NTT dalam bentuk
memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau
Timor dalam melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam
(komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka
mendirikan masjid di Bonipoi yang bernama masjid Al Ikhlas), serta memberikan
pengetahuan tentang sistem pengobatan tradisional bagi masyarakat setempat.
Sejarah perjalanan pembuangan yang dramatis ke Pulau Timor selama 6 (enam)
bulan di atas Kapal Uap Unrust dengan terus menerus dirantai dan dikerangkeng
serta penderitaan di pembuangan (Desa tempat pembuangannya dinamai dengan Desa
Airmata) tidak kalah dengan kisah pembuangan Imam Bonjol, Diponegoro, dan
Pahlawan Nasional lainnya. Kalau dilihat dari fakta sejarah di atas sangat
jelas bahwa Depati Amir dan Hamzah adalah SALAH SEORANG PEJUANG BANGSA DAN
SEBAGAI SALAH SATU SIMPUL DARI SEKIAN BANYAK SIMPUL PEREKAT KEINDONESIAAN.
Setelah 34 tahun kemudian Amir wafat
pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di
Pemakaman Batu Kadera Kupang. Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang
dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh
pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para
pejuang disebut dengan EXORBITANTE RECHTEN. Cara Kolonial ini ternyata sangat
efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan kerajaan
tradisional di daerah. Setelah tertangkapnya Amir dan Hamzah perjuangan rakyat
Bangka tidak berhenti dan dilanjutkan oleh pejuang pejuang lainnya seperti
Batin Tikal, dan bekas panglima panglima perang lainnya.
Sahabudin
Pahlawan Asal Babel
TAK
banyak masyarakat Bangka Belitung (Babel) mengenal sosok Sahabudin. Padahal
Sahabudin, pria kelahiran Dusun Tutut Desa Penyamun, Kecamatan Pemali
menyerahkan nyawanya untuk mempertahankan tanah air Republik Indonesia.
Sahabudin meninggal di Laut Aru 15 Januari 1962. Sebuah torpedo dari kapal
perang Belanda menghantam lambung KRI Macan Tutul. Sahabudin salah satu pejuang
yang berada di dalam kapal saat mempertahankan NKRI.
Pengorbanan Sahabudin diabadikan di
Markas Komando TNI Angkatan Laut (AL) pusat.
Pria asal Dusun Tutut semasa hidupnya menjadi pernah parjurit di TNI AL. Dia salah satu ABK di KRI Macan Tutul. Tragedi gedi Laut Aru merenggut nyawa Sahabudin yang berpangkat klasi dua.
Pria asal Dusun Tutut semasa hidupnya menjadi pernah parjurit di TNI AL. Dia salah satu ABK di KRI Macan Tutul. Tragedi gedi Laut Aru merenggut nyawa Sahabudin yang berpangkat klasi dua.
Tak
cuma Sahabudin, rekan-rekannya yang lain awak KRI Macan Tutul pun gugur membela
RI. Mereka gugur bersama seorang pahlawan nasional Komodor Yos Sudarso yang memimpin
pertempuran Laut Aru. Tohir adik kandung almarhum Sahabudin mengisahkan,
semasa hidupnya, Sahabudin sebelum bergabung sebagai TNI AL menamatkan
pendidikan di Sekolah Teknik (ST) Sungailiat. Sahabudin dikenal sebagai anak
yang rajin, suka bergaul sesama rekan dan sahabat di kampungnya Dusun Tutut
sekitar 10 kilometer dari Sungailiat
Usai
menamatkan pendidikan di ST, Sahabudin berminat melanjutkan cita-cita sebagai
seorang tentara. Keinginan Sahabudin sempat membuat bingung pihak keluarganya.
Sebab
pihak keluarga beranggapan keinginan Sahabudin tersebut sulit terwujud. Kondisi
ekonomi keluarganya tidaklah memungkinkan dirinya untuk menjadi tentara. Untuk
melamar menjadi anggota TNI AL mesti ke luar Pulau Bangka sehingga butuh biaya
yang tak sedikit.
“Tapi
tekad dan semangatnya tak bisa diredam maka apa yang menjadi keinginannya pun
kami turut mendukung. Ternyata tak disangka ia diterima sebagai anggota TNI
AL,” kenang Tohir saat itu didampingi adik dan kakak kandung Sahabudin antara
lain Syaidah, Zubir dan salah seorang keponakannya, Saferi di kediaman Dusun
Tutut.
Saat
menerima kunjungan Danlanal Babel Letkol Laut (P) Gregorius Agung WD didampingi
istri bersama para perwira TNI AL lainnya, Rabu (14/1) pagi tak banyak yang
diungkapkan oleh Tohir.
Apalagi
yang diketahui oleh kakak maupun adik kandungnya. Sahabudin pergi meninggalkan
keluarga demi membela negara saat usianya masihlah tergolong muda.
“Mungkin
sudah takdirnya, dia harus meninggalkan kami demi membela tanah air tercinta,”
ucap Tohir dengan pandangan mata berkaca-kaca. Jasa atau perjuangan Sahabudin
membela tanah air tidak begitu saja dilupakan. Pemerintah RI di era
pemerintahan Soeharto pun sempat menorehkan sebuah penghormatan bagi Almarhum
Sahabudin dengan menetapkan namanya dalam daftar deretan nama-nama pahlawan
nasional. Beragam penghargaan lainnya termasuk namanya pun sempat diabadikan
sebagai salah satu nama gedung di Mako AL.
Danlanal
Babel Gregorius pun sempat pula mengusulkan kepada pemerintah daerah Provinsi
Babel agar nama Sahabudin dapat diabadikan menjadi salah satu nama jalan atau
dibangun monumen di Pulau Bangka.“Sudah pernah kita usulkan. Dan kita harapkan
nama beliau dapat diabadikan untuk nama jalan atau setidak-tidaknya dibangun
tugu monumen sosok Sahabudin. Sebab walau bagaimana pun dia merupakan pahlawan
nasional, putera daerah yang patut kita hormati.” kata Gregorius sembari
mengingatkan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah atau
jasa-jasa para pahlawannya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar