Kamis, 12 Juli 2012


PAHLAWAN BANGKA BELITUNG 

(DEPATI HAMZAH,BATIN TIKAL DAN DEPATI BAHARIN

Amir adalah putera sulung Depati Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur Pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima Perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas, berani, cerdas dan cakap.
Amir dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti Pasukan terus berpindah dan bergerak diseluruh pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam Pertempuran strategi yang digunakan adalah perang gerilya dengan ciri
 Disamping pasukan utama dibentuk pasukan pasukan kecil dimasing masing distrik yang dipimpin oleh seorang Panglima Perang.
Tugas pasukan kecil ini adalah menyerang pos pos militer Belanda dan parit-parit sebagai pusat kekayaan dan keuangan Belanda, serta membumihanguskan Batin Batin untuk menaikkan moral perjuangan dan menghancurkan sumber logistik musuh.
Melemahkan mental dan moral musuh dengan menyerang kemudian menghilang dengan cepat, mengelabui dan menjebak musuh dengan memanfaatkan kondisi geografis alam Pulau Bangka
.Menghindari pertempuran terbuka dan frontal.Memasang rintangan dan ranjau sepanjang jalan Pangkalpinang-Mentok.Mengadakan gerakan kontra mata mata.Mendatangkan senjata dan amunisi bekerjasama dengan orang orang Cina.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah, Belanda mengalami kebingungan dan kesulitan, sehingga bermacam strategi dilakukan antara lain:
Parit parit dijaga oleh militer dan di kampung kampung didirikan pos militer.
Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
Memberi hadiah bagi yang dapat memberikan informasi keberadaan Amir dan Hamzah atau yang berhasil menangkapnya.
Melakukan gerakan gerakan militer, benteng stelsel, memperkuat balatentara dan mendatangkan kapal perang untuk mempercepat gerak pasukan guna mendesak dan menumpas perlawanan.
Menawarkan perundingan dengan memberi Gaji dan Tunjangan Kepada Amir dan Hamzah, kepada para Batin dan Mandor kampung untuk mengikat supaya tidak melakukan perlawanan.
Menjanjikan melepas keluarga Amir dan Hamzah yang ditahan.
Melaksanakan perundingan di Kampung Layang dipimpin oleh Kapten Dekker.Kekurangan akan logistik dan kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba Pulau Bangka yang sangat luas yang menjadi pemikiran Amir dan Hamzah, sehingga ketika pasukannya kembai ke kampung - kampung untuk menggarap ladang pertanian justru menjadi hal yang dianjurkan, karena mengingat kepentingan yang lebih besar yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan. Di samping kekurangan pangan dan logistik perang ditambah iklim yang kurang mendukung, menyebabkan dalam peperangan digunakannya peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan - penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Amir dan Hamzah beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri. Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Mentok. Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor.
Perjuangan tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor Propinsi NTT dalam bentuk memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau Timor dalam melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam (komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka mendirikan masjid di Bonipoi yang bernama masjid Al Ikhlas), serta memberikan pengetahuan tentang sistem pengobatan tradisional bagi masyarakat setempat. Sejarah perjalanan pembuangan yang dramatis ke Pulau Timor selama 6 (enam) bulan di atas Kapal Uap Unrust dengan terus menerus dirantai dan dikerangkeng serta penderitaan di pembuangan (Desa tempat pembuangannya dinamai dengan Desa Airmata) tidak kalah dengan kisah pembuangan Imam Bonjol, Diponegoro, dan Pahlawan Nasional lainnya. Kalau dilihat dari fakta sejarah di atas sangat jelas bahwa Depati Amir dan Hamzah adalah SALAH SEORANG PEJUANG BANGSA DAN SEBAGAI SALAH SATU SIMPUL DARI SEKIAN BANYAK SIMPUL PEREKAT KEINDONESIAAN.
Setelah 34 tahun kemudian Amir wafat pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di Pemakaman Batu Kadera Kupang. Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang disebut dengan EXORBITANTE RECHTEN. Cara Kolonial ini ternyata sangat efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan kerajaan tradisional di daerah. Setelah tertangkapnya Amir dan Hamzah perjuangan rakyat Bangka tidak berhenti dan dilanjutkan oleh pejuang pejuang lainnya seperti Batin Tikal, dan bekas panglima panglima perang lainnya. 
 



Sahabudin Pahlawan Asal Babel 

 TAK banyak masyarakat Bangka Belitung (Babel) mengenal sosok Sahabudin. Padahal Sahabudin, pria kelahiran Dusun Tutut Desa Penyamun, Kecamatan Pemali menyerahkan nyawanya untuk mempertahankan tanah air Republik Indonesia. Sahabudin meninggal di Laut Aru 15 Januari 1962. Sebuah torpedo dari kapal perang Belanda menghantam lambung KRI Macan Tutul. Sahabudin salah satu pejuang yang berada di dalam kapal saat mempertahankan NKRI.
Pengorbanan Sahabudin diabadikan di Markas Komando TNI Angkatan Laut (AL) pusat.
Pria asal Dusun Tutut semasa hidupnya menjadi pernah parjurit di TNI AL. Dia salah satu ABK di KRI Macan Tutul. Tragedi gedi Laut Aru merenggut nyawa Sahabudin yang berpangkat klasi dua.
Tak cuma Sahabudin, rekan-rekannya yang lain awak KRI Macan Tutul pun gugur membela RI. Mereka gugur bersama seorang pahlawan nasional Komodor Yos Sudarso yang memimpin pertempuran Laut Aru. Tohir adik kandung almarhum Sahabudin mengisahkan, semasa hidupnya, Sahabudin sebelum bergabung sebagai TNI AL menamatkan pendidikan di Sekolah Teknik (ST) Sungailiat. Sahabudin dikenal sebagai anak yang rajin, suka bergaul sesama rekan dan sahabat di kampungnya Dusun Tutut sekitar 10 kilometer dari Sungailiat
 Usai menamatkan pendidikan di ST, Sahabudin berminat melanjutkan cita-cita sebagai seorang tentara. Keinginan Sahabudin sempat membuat bingung pihak keluarganya.
 Sebab pihak keluarga beranggapan keinginan Sahabudin tersebut sulit terwujud. Kondisi ekonomi keluarganya tidaklah memungkinkan dirinya untuk menjadi tentara. Untuk melamar menjadi anggota TNI AL mesti ke luar Pulau Bangka sehingga butuh biaya yang tak sedikit.
“Tapi tekad dan semangatnya tak bisa diredam maka apa yang menjadi keinginannya pun kami turut mendukung. Ternyata tak disangka ia diterima sebagai anggota TNI AL,” kenang Tohir saat itu didampingi adik dan kakak kandung Sahabudin antara lain Syaidah, Zubir dan salah seorang keponakannya, Saferi di kediaman Dusun Tutut.
Saat menerima kunjungan Danlanal Babel Letkol Laut (P) Gregorius Agung WD didampingi istri bersama para perwira TNI AL lainnya, Rabu (14/1) pagi tak banyak yang diungkapkan oleh Tohir.
Apalagi yang diketahui oleh kakak maupun adik kandungnya. Sahabudin pergi meninggalkan keluarga demi membela negara saat usianya masihlah tergolong muda.
“Mungkin sudah takdirnya, dia harus meninggalkan kami demi membela tanah air tercinta,” ucap Tohir dengan pandangan mata berkaca-kaca. Jasa atau perjuangan Sahabudin membela tanah air tidak begitu saja dilupakan. Pemerintah RI di era pemerintahan Soeharto pun sempat menorehkan sebuah penghormatan bagi Almarhum Sahabudin dengan menetapkan namanya dalam daftar deretan nama-nama pahlawan nasional. Beragam penghargaan lainnya termasuk namanya pun sempat diabadikan sebagai salah satu nama gedung di Mako AL. 
Danlanal Babel Gregorius pun sempat pula mengusulkan kepada pemerintah daerah Provinsi Babel agar nama Sahabudin dapat diabadikan menjadi salah satu nama jalan atau dibangun monumen di Pulau Bangka.“Sudah pernah kita usulkan. Dan kita harapkan nama beliau dapat diabadikan untuk nama jalan atau setidak-tidaknya dibangun tugu monumen sosok Sahabudin. Sebab walau bagaimana pun dia merupakan pahlawan nasional, putera daerah yang patut kita hormati.” kata Gregorius sembari mengingatkan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah atau jasa-jasa para pahlawannya”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar