PANTUN CIRI DAERAH
(SEBAGAI POTRET SOSIAL BUDAYA TEMPATAN)
By Jaka 14-12-2011
Pantun bagi
masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini
terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi primadona dalam
industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal
maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-olah, ia hanya produk
masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda ,
pantun seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena
itu, dianggap hanya milik orang Melayu.
Tentu saja pemahaman
itu tidaklah benar karena pantun juga di miliki selain orangmelayu. Pantun memang berasal dari tradisi Melayu
yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya
sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan
Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah
lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai
media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam
kehidupan bermasyarakat. Telusuri saja ceruk pantai dan pelosok desa di kawasan
Riau, Bengkalis, Tanjungpinang, dan terus memasuki wilayah semenanjung Melayu
hingga ke Malaysia, maka kita akan melihat betapa pantun telah menyatu dengan
kehidupan keseharian masyarakat di sana. “Orang tua-tua Melayu mengatakan,
rindang kayu kerana daunnya, terpandang Melayu kerana pantunnya (Tenas
Effendy). Ungkapan ini mencerminkan betapa besarnya peranan pantun dalam
kehidupan orang Melayu.”
Di berbagai daerah
lain di Nusantara ini, pantun dikenal masyarakat dengan sangat baik. Karena
pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai
kesempatan dan disampaikan dalam sembarang masa, dalam kegiatan apa pun, dan
dilakukan oleh sesiapa pun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati
oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun
menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun
mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang
budayanya sendiri. Maka, sesiapa pun dari etnis dan latar belakang budaya mana
pun, boleh saja membuat pantun.
Pantun dapat
digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyampaikan nasihat atau wejangan,
atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun.
Itulah kelebihan pantun. “Pantun bukan saja digunakan sebagai alat hiburan,
kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam antara bujang dengan dara,
tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan
tunjuk ajar.”
Sesungguhnya, jika
ditelusuri lebih jauh, pantun merupakan salah satu produk budaya masyarakat
Nusantara yang merepresentasikan wilayah geografi, kebudayaan, dan “potret”
masyarakatnya. Maka, ketika pantun itu muncul di wilayah budaya Melayu, Batak,
Sunda, Madura, Betawi, atau Jawa, tak terhindarkan petatah-petitih, nama-nama
tempat dan sejumlah istilah yang berkaitan dengan budaya tempatan dengan
berbagai aspek lokalitasnya, akan hadir dalam pantun yang dilahirkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar